Jumat, 26 Februari 2016

PROPOSAL: Analisis Kepatuhan Wajib Pajak Sebelum dan Sesudah Penerapan Program e-SPT Dalam Melaporkan SPT Masa PPN pada KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Tiga


A.      Latar Belakang Masalah
Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara disamping penerimaan dari sumber migas dan non migas.Dengan posisi yang demikian itu, pajak merupakan sumber penerimaan strategis yang harus dikelola dengan baik agar keuangan negara dapat berjalan dengan lancar dan baik.Dalam struktur keuangan negara, tugas dan fungsi penerimaan pajak dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak dibawah Departemen Keuangan Republik Indonesia. Jenis-jenis pajak yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM).
Dari tahun ketahun telah dilakukan berbagai langkah dan kebijakan untuk meningkatkan penerimaan pajak sebagai sumber penerimaan negara. Kebijakan tersebut dapat dilakukan melalui penyempurnaan perundang-undangan, penerbitan peraturan-peraturan baru dibidang perpajakan, meningkatkan  kepatuhan Wajib Pajak maupun menggali sumber-sumber pajak lainnya.
Dalam situsnya (pajak.go.id), Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan mencatat  rasio kepatuhan Wajib Pajak dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahuanan hingga April 2010 telah mencapai 54,84% atau 7,73 juta wajib pajak. Pada tahun 2009 rasio kepatuhan Wajib Pajak hanya 5.413.114 atau sebesar 52,61% dengan jumlah Wajib Pajak terdaftar sebanyak 10.289.590.
Perlu diketahui, tingkat kepatuhan Wajib Pajak di Indonesia dinilai masih rendah walaupun terjadi peningkatan tiap periodenya.Hal ini ditunjukkan oleh tax coverage ratio yang masih rendah. Tax coverage ratio adalah perbandingan antara besarnya pajak yang telah dipungut dibandingkan dengan besarnya potensi pajak yang seharusnya dapat dipungut. Tax coverage ratio merupakan indikator untuk menilai tingkat keberhasilan pemungutan pajak.
Untuk meningkatkan rasio kepatuhan, fiskus terus melakukan inventarisasi Wajib Pajak dan Pengusaha Kena Pajak. Terutama mereka yang tidak atau belum menyampaikan SPT tahunan PPh dan SPT masa PPN untuk tahun masa pajak sebelumnya.
Pada umumnya di negara berkembang, sebagian besar penerimaan pajaknya berasal dari jenis pajak tidak langsung misalnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Hal ini disebabkan pada negara berkembang golongan berpenghasilan tinggi lebih rendah persentasenya dari penghasilan golongan pada umumnya.
e-Registration, e-SPT, e-Filling dan e-Payment merupakan salah satu bagian dari proses modernisasi administrasi perpajakan agar Wajib Pajak memperoleh kemudahan dalam memenuhi kewajibannya, sehingga pemenuhan kewajiban perpajakan dapat lebih mudah dilaksanakan dan tujuan administrasi perpajakan lebih tertib dan transparan dapat tercapai. Kemudahan pemenuhan kewajiban perpajakan diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, oleh karena itu sosialisasi secara intens serta terus menerus perlu ditingkatkan sejalan dengan peningkatan profesionalitas petugas pajak. Sehingga tujuan administrasi perpajakan yang profesional dan modern dapat terwujud.
Pada prinsip e-Registration, e-SPT, e-Filling dan e-Payment bertujuan untuk mempermudah Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakannya tanpa adanya persentuhan dengan petugas pajak (fiskus). Secara fungsional e-Registration, e-SPT, e-Filling dan e-Payment merupakan sarana komunikasi antara Wajib Pajak dan fiskus. Bagi Wajib Pajak, Surat Pemberitahuan (SPT) merupakan sarana pertanggungjawaban kewajiban perpajakan selama satu periode fiscal. Sedangkan bagi fikus Surat Pemberitahuan (SPT) merupakan sarana pemantauan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
Tujuan utama layanan pelaporan perpajakan tersebut adalah untuk menyediakan fasilitas pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) secara elektronik kepada Wajib Pajak, sehingga mempermudah Wajib Pajak dalam melakukan pengisian SPT dimana saja. Yang dimaksud dengan e-SPT masa PPN adalah Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam bentuk elektronik, yang formulirnya dapat diunduh secara gratis. Program ini ini merupakan fasilitas yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kepada Wajib Pajak yang digunakan untuk merekam, memelihara data serta mencetak Surat Pemberitahuan (SPT) beserta lampirannya dan dilaporkan melalui media elektronik kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis berniat untuk meneliti mengenai penerapan program e-SPT sebagai upaya fiskus untuk meningkatkan pelayanan perpajakan dan kepatuhan Wajib Pajak dalam melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) khususnya SPT Masa PPN kedalam skripsi yang berjudul “Analisis Kepatuhan Wajib Pajak Sebelum dan Sesudah Penerapan Program e-SPT Dalam Melaporkan SPT Masa PPN pada KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Tiga”.

B.       Identifikasi Masalah
Dari uraian latar belakang tersebut, maka penulis mengidentifikasikan masalah sebagai berikut:
1.      Kepatuhan Wajib Pajak di Indonesia masih rendah meskipun terjadi peningkatan penerimaan pajak pada setiap periodenya.
2.      Adanya upaya fiskus memodernisaisi administrasi perpajakan, yaitu salah satunya dengan menerapankan program Surat Pemberitahuan secara elektronik (e-SPT).
3.      Program e-SPT merupakan mordernisasi administrasi perpajakan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT).
4.      Dengan meningkatnya kepatuhan Wajib Pajak dalam melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT), fiskus beranggapan dapat mengoptimalkan penerimaan pajak.


C.      Pembatasan Masalah
1. Kepatuhan (adherence) adalah suatu bentuk perilaku yang timbul          akibat adanya interaksi antara petugas kesehatan dan pasien sehingga          pasien mengerti rencana dengan segala konsekwensinya dan menyetujui      rencana tersebut serta melaksanakannya (Kemenkes R.I.,2011).
2. Wajib Pajak (WP) adalah orang pribadi atau badan, meliputi      pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang             mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan     ketentuan        peraturan perundang-undangan perpajakan. (pajak.go.id)
3. Menurut Norman D. Nowak yang dikutip oleh Mohammad Zain             (2007,31) menyatakan bahwa kepatuhan Wajib Pajak adalah suatu iklim             kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin         dalam situasi dimana:
a.)Wajib Pajak Paham atau berusaha untuk memahami semua           ketentuan perundang-undangan perpajakan.
b.) Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas.
c.)  Menghitung pajak yang terhitung dengan benar.
d.) Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.
4. Aplikasi atau program e-SPT atau disebut dengan Elektronik SPT         adalah aplikasi yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk     digunakan oleh Wajib Pajak untuk kemudahan dalam menyampaikan SPT        (pajak.go.id).
5. Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib pajak            digunakan untuk melaporkan penghitungan dan atau pembayaran pajak,            objek pajak dan atau bukan objek pajak dan atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
6. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas       setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added         Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST).

D.      Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.         Apakah terdapat perbedaan kepatuhan Wajib Pajak sebelum dan sesudah penerapan program e-SPT dalam melaporkan SPT masa PPN pada tahun pajak 2000 sampai dengan 2009?
2.         Berapakah besar perbedaan kepatuhan Wajib Pajak dalam melaporkan SPT masa PPN setelah penerapan program e-SPT pada tahun pajak 2000 sampai dengan 2009?

E.       Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.      Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang dilakukan penulis adalah sebagai berikut:
a)      Mengetahui perbedaan kepatuhan Wajib Pajak dalam melaporkan SPT masa PPN sebelum dan sesudah penerapan program e-SPT.
b)      Mengetahui berapakah besar perbedaan kepatuhan Wajib Pajak dalam melaporkan SPT Masa PPN setelah penerapan progam e-SPT.

2.      Manfaat Penelitian
a)      Bagi Penulis
Dapat menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam perpajakan khususnya mengenai pangetahuan tentang pelaporan SPT Masa PPN sebelum dan sesudah penerapan program e-SPT. Serta sebagai salah satu syarat bagi penulis untuk memenuhi syarat kelulusan mata kuliah Metodologi Penelitian di Fakultas Ekonomi Universitas Pamulang.
b)      Bagi Wajib Pajak
Diharapkan Wajib Pajak maupun calon Wajib Pajak mengetahui bahwa penerapan program e-SPT merupakan upaya fiskus meningkatkan pelayanan administrasi perpajakan menggunakan media elektronik untuk mempermudah Wajib Pajak dalam melaporkan SPT Masa PPN.
c)      Bagi Ilmu Pengetahuan
Diharapkan penulis dapat memberi sumbangan berupa pengetahuan bagi masyarakat, mahasiswa atau mahasiswi yang mendalami ilmu perpajakan.

F.       Kerangka Pemikiran
Kerangka berpikir merupakan intisari dari teori yang telah dikembangkan yang dapat mendasari perumusan hipotesis.Teori yang telah dikembangkan dalam rangka memberi jawaban terhadap pendekatan pemecahan masalah yang menyatakan hubungan antar variabel berdasarkan pembahasan teoritis. Untuk mempermudah pemahaman, penulis mengilustrasikan kerangka pemikiran dalam bentuk skema sebagai berikut:



G.      Hipotesis
       Hipotesis bisa didefinisikan sebagai hubungan yang diperkirakan secara logis diantara dua atau lebih variabel yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan yang dapat diuji. Hubungan tersebut diperkirakan berdasarkan jaringan asosiasi yang ditetapkan dalam kerangka teoretis yang dirumuskan untuk studi penelitian (Sekaran, 2014:135)
       Dengan demikian hipotesis statistik adalah pernyataan atau dugaan mengenai keadaan populasi yang masih bersifat sementara atau lemah kebenarannya.Bila tes hipotesis tersebut dilakukan terhadap data dengan metode statistik, maka perhitungannya juga menggunakan perhitungan statistik.
       Pengujian hipotesis dapat didasarkan dengan menggunakan dua hal, yaitu tingkat signifikan atau probabilitas (α) dan tingkat kepercayaan atau confidence interval.Tingkat signifikan adalah probabilitas melakukan kesalahan tipe 1, yaitu kesalahan menolak hipotesis ketika hipotesis tersebut benar. Berdasarkan tingkat signifikan pada umumnya menggunakan 5% (0,05).Kisaran signifikan mulai dari 0.01 sampai dengan 0.1. Tingkat kepercayaan ialah tingkat dimana sebesar 95% nilai sampel akan mewakiili nilai populasi dimana sampel berasal, tingkat kepercayaan umumnya ialah sebesar 95%. Hipotesis dinotasikan dengan “Ho” dan lawannya alternatif hipotesis dengan notasi “Ha”.
       Dalam penelitian ini, peneliti mengguanakan hipotesis dan alternatif hipotesisnya sebagai berikut :
Ho =    Tidak terdapat perbedaan antara sebelum dan sesudah dilakukannya program e-SPT terhadap kepatuhan Wajib Pajak.
Ha = Terdapat perbedaan antara sebelum dan sesudah dilakukannya program e-SPT terhadap kepatuhan Wajib Pajak.




H.      Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dibuat dengan tujuan untuk memberikan gambaran mengenai skripsi secara singkat, sehingga pembaca lebih mudah untuk memahaminya. Penulis membuat outline dan sistematika penulisan dengan membaginya dalam lima bab dan setiap bab terbagai atas sub bab, adapun susunannya adalah sebagai berikut :
Sampul Muka
Halaman Pengesahan
Halaman Pernyataan
Halaman Abstrak (Bahasa Indonesia)
Halaman Abstrak (Bahasa Inggris)
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar
Daftar Lampiran
BAB I     PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang Masalah
B.       Identifikasi Masalah
C.       Pembatasan Masalah
D.       Perumusan Masalah
E.        Tujuan dan Manfaat Penelitian
F.        Kerangka Pemikiran
G.       Hipotesis
H.       Sistematika Penulisan
I.          Teori
BAB II   Tinjauan Pustaka
BAB III  Metodologi Penelitian
A.       Jenis Penelitian
B.       Model Penelitian
C.       Populasi dan Sampel
D.       Teknik Pengumpulan Data
E.        Pengolahan dan Analisis Data
F.        Operasional Variabel
BAB IV  Hasil dan Pembahasan
BAB V   Kesimpulan dan Saran
Daftar Pustaka
Lampiran
Surat Bukti atau Keterangan Melakukan Penelitian

I.         Pendekatan Data dan Keilmuan
  1. Landasan Teori
a)      Pengertian Pajak
Untuk memahami apa yang dimaksud dengan pengertian pajak penulis memperoleh bermacam-macam definisi tentang pajak yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah:
Menurut Undang Undang No. 16 Tahun 2000 (Direktorat Jenderal Pajak, 2015), pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sedangkan pengertian pajak menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.


Kemudian dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak adalah, sebagai berikut (pajak.go.id):
1)      Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang.
2)      Dalam pembayaran pajak tidak ditunjukkan adanya kontraprestasi.
3)      Pajak dipungut oleh negara baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.
4)      Pajak diperuntukkan untuk pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih dapat surplus akan dipergunakan untuk membiayai investasi publik.
5)      Pajak dapat pula membiayai tujuan yang tidak budgeter, yaitu mengatur pelaksanaan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial.

b)   Fungsi Pajak
        Menurut Mardiasmo (2009:1), ada dua fungsi pajak yaitu sebagai fungsi penerimaan dan fungsi mengatur, berikut penjelasannya:
1)   Fungsi penerimaan (budgetair)
Pajak berfungsi sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
2)   Fungsi mengatur (reguleren)
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh yaitu pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras, pajak yang tinggi pula dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif, tarif pajak untuk ekspor sebesar 0% untuk mendorong ekspor produk indonesia di pasaran dunia.
Dari pendapat yang telah dikemukakan tentang fungsi pajak            tersebut maka dapat dijelaskan bahwa pajak mempunyai fungsi          yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya dalam             pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran dalam       melaksakan pembangunan.

c)   Sistem Pemungutan Pajak
Pada dasarnya ada 3 sistem pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia, yaitu (Bina Fiscal Indonesia,2014):
1)      Official Assesment System, adalah sistem pemungutan pajak dimana jumlah pajak yang diunasi atau terutang oleh wajib pajak dihitung dan ditetapkan oleh fiskus. Jadi dalam sistem ini Wajib Pajak bersifat pasif sedangkan fiskus bersifat aktif. Menurut sistem ini utang pajak timbul apabila telah ada ketetapan pajak dari fikus.
Sistem ini diterapkan dalam hal pelunasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dimana KPP akan mengeluarkan surat ketetapan pajak mengenai besarnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang terhutang setiap tahun. Jadi Wajib Pajak tidak perlu menghitung sendiri, tapi cukup membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) berdasarkan Surat Pembayaran Pajak Terutang (SPPT) yang dikeluarkan oleh KPP dimana tempat objek pajak tersebut terdaftar.
2)      Self Assesment System, adalah sistem pemungutan pajak dimana Wajib Pajak harus menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan jumlah pajak yang terutang. Fiskus hanya bertugas melakukan penyuluhan dan pengawasan untuk mengetahui kepatuahan Wajib Pajak. Dengan demikian jika dihubungkan dengan ajaran timbulnya utang pajak, maka Self AssesmentSystem sesuai dengan timbulnya utang pajak menurut ajaran materiil artinya utang pajak timbul apabila ada yang menyebabkan timbulnya utang pajak. Sistem  diterapkan dalam penyampaian SPT Tahunan PPh (baik untuk Wajib Pajak Badan maupun Wajib Pajak Orang Pribadi), dan SPT Masa PPN.
3)      WithHolding System, adalah sistem pemungutan pajak dimana besarnya pajak terutang dihitung dan dipotong oleh pihak ketiga, yang dimaksud disini antara lain pemberi kerja dan bendaharawan pemerintah. Sementara with holding system diterapkan dalam mekanisme pemotongan/pemungutan sesuai PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Final Pasal 4 Ayat (2), PPh Pasal 15, dan PPN. Sebagai bukti atas pelunasan pajak ini biasanya berupa bukti potong atau bukti pungut. Dalam kasus tertentu ada juga yang berupa Surat Setoran Pajak (SSP). Bukti-bukti pemotongan ini nanti dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh/SPT Masa PPN dari Wajib Pajak yang bersangkutan.

d) Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
1)      Pengertian Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Untuk memahami Pajak Pertambahan Nilai (PPN), perlu diketahui defenisi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dikemukakan oleh beberapa ahli, antara lain:
Menurut Soemarso (2003 : 296) dalam buku Akuntansi Suatu Pegantar mengatakan bahwa “Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak yang dikenakan pada waktu perusahaan melakukan pembelian atas BKP/JKP  yang dikenakan dari Dasar Penganaan Pajak (DPP).”
Menurut Ilyas dan Suharto (2007:8) dalam buku Pajak Pertambahan Nilai dan Penjualan Barang Mewah mengatakan bahwa “dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak terdapat defenisi mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), sehingga setiap orang dapat secara bebas memberikan defenisi mengenai pajak tersebut.”
Dari pengertian tersebut di atas, walaupun pada hakekatnya defenisi tersebut berbeda, tapi pada dasarnya maksud dan tujuan yang terkandung didalamnya adalah sama. Secara umun Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terdiri dari dua komponen, yaitu Pajak Masukan dan Pajak Keluaran.
Menurut Soemarso (2003:270) “Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dibayar pada waktu pembelian atau impor Barang Kena Pajak serta penerimaan jasa kena pajak dapat di kreditkan untuk masa pajak yang sama. Dalam hal tertentu, Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan.Sedangkan Pajak Keluaran adalah pajak yang dikenakan atas penjualan Barang Kena Pajak yang ditambahkan sebesar 10% dari harga jual.”
Menurut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Nomor 42 Tahun 2009 Pasal (1) “Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan atau penerimaan Jasa Kena Pajak dan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari lauar Daerah Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan atau impor Barang Kena Pajak. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.”
2)      Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Adapun dasar hukum Pajak Pertambahan Nilai adalah Undang-undang PPN Nomor 8 Tahun 1983 tanggal 31 Desember 1983, tentang PPN dan PPnBM. Undang-undang ini berlaku pada tanggal 1 Juli Tahun 1984 dan mengalami beberapa kali perubahan, diantaranya:
a.       Perubahan I : Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 tanggal 9 November 1994, berlaku sejak 1 Januari 1995
b.      Perubahan II : Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 tanggal 2 Agustus 2000, berlaku sejak 1 Januari 2001
c.       Perubahan III : Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tanggal 15 Oktober 2009, berlaku sejak 1 April 2010. Meskipun terjadi perubahan Undang-undang hingga yang        
terakhir yakni Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009, dasar
hukum Pajak Pertambahan Nilai tetap dikenal dengan istilah 
“ UU PPN 1984”.
3)      Subjek dan Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Nomor 42 Tahun 2009, subjek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ialah Pengusaha Kena Pajak. Pengusaha Kena Pajak (PhKP) adalah pengusaha yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa                                                                                                                                                                                                                                                                                                                           Kena Pajak (JKP), tidak termasuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tanggal 23 Maret 2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai. Kecuali pengusaha kecil tersebut memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PhKP). Pengusaha dikatakan sebagai Pengusaha Kena Pajak apabila melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)  dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP)  dengan jumlah peredaran Bruto dan/ atau penerimaan bruto melebihi Rp.600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) dalam satu tahun.
Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak (BKP) adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak, dan barang tidak berwujud yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN).Jasa Kena Pajak (JKP) adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan/ perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang/fasilitas/kemudahan/hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang kena pesanan/ permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan, yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Sedangkan Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) diatur dalam Pasal 4, Pasal 16C dan Pasal 16D UU Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009 adalah sebagai berikut :
a.       Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan pengusaha
b.      Impor Barang Kena Pajak (BKP)
c.       Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) dalam Daerah Pabean yang dilakukan pengusaha
d.      Pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud dari luar ke dalam Daerah Pabean
e.       Pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean
f.       Ekspor Barang Kena Pajak (BKP) berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
g.      Ekspor Barang Kena Pajak (BKP)  tidak berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
h.      Ekspor Jasa Kena Pajak (JKP) oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)

4)      Kriteria Barang dan Jasa Tidak Kena Pajak Pertambahan Nilai
Pada dasarnya semua barang dapat dikenakan Pajak Pertambahan Nilai kecuali Undang-undang menetapkan sebaliknya, yaitu dalam Pasal 4A ayat (2) UU PPN Tahun 1984 yang menyebutkan kriteria barang yang dikecualikan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah sebagai berikut: 
a.       Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya. Misalnya minyak mentah (crude oil), gas bumi, panas bumi, pasir dan kerikil, batu bara sebelum diolah menjadi briket, biji besi, biji timah, biji emas, biji nikel, biji tembaga, biji perak, biji bauksit.
b.      Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak. Misalnya beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, dan garam.
c.       Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya baik yang dikonsumsi ditempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha boga atau katring.
d.      Uang, emas batangan dan surat berharga.
Dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPN Tahun 1984 menentukan kriteria jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, diantaranya :
a. Jasa dibidang pelayanan medik
b.Jasa dibidang pelayanan sosial
c. Jasa dibidang pengiriman surat dengan perangko
d.      Jasa keuangan dan jasa asuransi
e. Jasa dibidang keagamaan
f. Jasa dibidang pendidikan
g.Jasa dibidang kesenian dan hiburan
h.Jasa dibidang penyiaran (baik radio maupun televisi) yang bukan bersifat iklan
i.  Jasa dibidang angkutan umum
j.  Jasa dibidang tenaga kerja
k.Jasa dibidang perhotelan
l.  Jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum
a)      Jasa penyediaan tempat parkir
b)      Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam

c)      Jasa pengiriman uang dengan wesel pos
d)     Jasa boga atau ketring

5)      Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai
Pajak Pertambahan Nilai mempunyai beberapa karakteristik diantaranya, yaitu (tarif.depkeu.go.id):
1. Pajak Objektif. Yang dimaksud dengan pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang timbulnya kewajiban pajaknya sangat ditentukan oleh objek pajak. Keadaan subjek pajak tidak menjadi penentu kecuali untuk kasus tertentu.

2. Dikenakan pada setiap rantai distribusi (Multi Stage Tax). Sepanjang suatu transaksi memenuhi syarat sebagaimana disebutkan dalam angka 2, maka pihak PKP Penjual berkewajiban memungut PPN atas transaksi yang terjadi dan kemudian menyetorkan ke Kas Negara dan melaporkannya.

3. Menggunakan mekanisme pengkreditan. Sesuai dengan namanya maka pada hakekatnya PPN hanya dikenakan atas nilai tambah yang terjadi atas BKP karena adanya proses pabrikasi maupun distribusi. Oleh karena itu PPN yang terutang dalam suatu Masa Pajak diperhitungkan terlebih dahulu dengan PPN yang telah dibayarkan oleh PKP pada saat pembelian bahan baku dan faktor produksi lainnya, sehingga meskipun PPN dikenakan beberapa kali namun tidak menimbulkan efek pajak berganda.

4. Merupakan pajak atas konsumsi dalam negeri. Oleh karena itu salah satu syarat dikenakannya PPN atas suatu transaksi adalah bahwa BKP/JKP dikonsumsi di dalam Daerah Pabean. Hal inilah yang mendasari pengenaan PPN dengan tarif 0% atas kegiatan ekspor sedangkan untuk kegiatan impor tetap dikenakan PPN 10%.

5. Merupakan beban konsumen akhir. PPN merupakan pajak tidak langsung sehingga beban pajaknya bisa dialihkan oleh PKP. Pengenaan PPN yang dilakukan beberapa kali tidak menjadi beban PKP karena beban PPN tersebut pada akhirnya akan dialihkan kepada konsumen yang menikmati BKP pada rantai terakhir.

6. Netral terhadap persaingan. PPN bukan merupakan beban yang menambah harga pokok penjualan karena PPN menganut sistem pengkreditan yang memungkinkan PPN yang dibayarkan pada saat pembelian diperhitungkan dengan PPN yang harus dipungut saat penjualan.

7. Menganut destination principle. Untuk menentukan suatu transaksi dikenakan PPN atau tidak, terlebih dahulu harus dilihat di negara mana pihak konsumen berada. Apabila konsumen berada di luar negeri maka transaksi tersebut tidak dikenakan PPN karena PPN adalah pajak atas konsumsi dalam negeri.






Dari beberapa karakteristik Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tersebut diatas, dapat dikemukakan bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh Pajak Penjualan. Meskipun demikian, sebagai suatu sistem, ternyata Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga tidak bebas sama sekali beberapa kekurangan (UU No. 42 Tahun 2009).

Berikut kelebihan Pajak Pertambahan Nilai (PPN):
1.      Mecegah terjadinya pengenaan pajak berganda
2.      Netral dalam perdangan dalam dan luar negeri
3.      Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan Barang Modal dapat diperoleh kembali pada bulan perolehan, sesuai dengan tipe konsumsi ( consumption type VAT ) dan metode pengurangan tidak langsung ( inderct subtraction method ).
4.      Ditinjau dari sumber pendapatan Negara, Pajak Pertambahan Nilai mendapat predikat sebagai “money maker” karena konsumen selaku pemikul beban pajak tidak merasa dibebani oleh pajak tersebut sehingga memudahkan fiskus untuk memungutnya.
       Adapun yang menjadi beberapa kelemahan Pajak Pertambahan             Nilai (PPN) :
5.      Biaya administrasi relatif tinggi bila dibandingkan dengan Pajak Tidak langsung lainnya, baik dipihak administrasi pajak maupun dipihak Wajib Pajak.Menimbulkan dampak regresif, yaitu semakin tinggi tingkat kemampuan konsumen, semakin ringan beban pajak yang dipikul, dan sebaliknya semakin rendah tingkat kemampuan konsumen, semakin berat beban pajak yang dipikul. Dampak ini timbul sebagai konsekuensi karakteristik Pajak Pertambahan Nilai sebagai Pajak Objektif.
6.      Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sangat rawan dari upaya penyelundupan pajak. Kerawanan ini ditimbulakan sebagai dari akibat mekanisme pengkreditan yang merupakan upaya memperoleh kembali pajak yang dibayar oleh pengusaha dalam bulan yang sama tanpa terlebih dahulu memalaui prosedur administrasi fiskus.
Konsekuensi dari kelemahan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tersebut menuntut tingkat pengawasan yang lebih cermat  oleh administrasi pajak terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan.
6)      Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak PPN
         Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang terutang dilakukan dengan cara mengalikan jumlah harga jual/ pengganti/ nilai impor/ nilai ekspor atau nilai lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan tarif pajak sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1). Pajak yang terutang ini merupakan Pajak Keluaran, yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak (PhKP).
         Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan hanya untuk menjamin rasa keadilan. Dasar Pengenaan Pajak adalah dasar yang dipakai untuk menghitung pajak yang terutang, yaitu :
                                              i.       Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. Harga jual dapat diperoleh dengan menjumlahkan harga pembelian bahan baku, bahan pembantu, alat pelengkap lainnya ditambah  biaya-biaya seperti penyusutan barang modal, bunga pinjaman dari bank, gaji dan upah tenaga kerja, manajemen, serta laba usaha yang diharapkan.
                                            ii.       Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. Nilai penggantian merupakan taksiran untuk mengganti biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan profesi, keterampilan, dan pengalaman yang memberikan pelayanan dalam arti “jasa” tersebut. Jika harga jual atau nilai penggantian menggunakan mata uang asing, maka harus dikonversikan kedalam mata uang rupiah dengan Keputusan Menteri Keuangan mengenai kurs yang berlaku saat itu.
                                          iii.       Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk Impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai. Nilai yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak adalah harga patokan impor atau Cost Insurance and Freight (CIF) sebagai dasar penghitungan bea masuk ditambah dengan semua biaya dan pungutan lain menurut ketentuan Peraturan Perundang-undangan Pabean. Maka untuk menghitung Nilai Impor sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah penjumlahan Cost Insurance and Freight (CIF) dan Bea masuk.
                                          iv.       Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
                                            v.       Nilai Lain adalah suatu jumlah yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak dengan Keputusan Menteri Keuangan. Nilai lain yang ditetapkan Sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah sebagai berikut:
·    Untuk pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor.
·    Untuk pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor.
·    Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan Harga Jual Rata.
·    Untuk penyerahan Film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata perjudul film.
·    Untuk persediaan Barang Kena Pajak yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, adalah harga pasar yang wajar.
·    Untuk aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sepanjang Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan, adalah harga pasar wajar.
·    Untuk kendaraan bermotor bekas adalah 10% (sepuluh persen) dari harga jual.
·    Untuk penyerahan jasa giro perjalanan atau jasa giro pariwisata adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
·    Untuk jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau yang seharusnya ditagih.
·    Untuk jasa anjak piutang adalah 5% (lima persen) dari jumlah seluruh imbalan yang diterima berupa service charge, provisi, dan diskon.
·    Untuk penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak antar cabang adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor.
·    Untuk penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang adalah harga lelang.
7)      Tarif  Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
       Pajak Pertambahan Nilai (PPN) memungut sistem tarif tunggal yaitu 10% (sepuluh persen).Namun demikian, mengingat UU PPN menganut azas destination principle dalam pengenaan pajaknya maka untuk kegiatan ekspor dikenakan tarif 0% (nol persen).Pengenaan tarif 0% (nol persen) atas ekspor Barang Kena Pajak (BKP) adalah dimaksudkan agar dalam harga barang yang diekspor tidak terkandung Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
       Dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2010 Pasal 7 ayat (1), tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah sebagai berikut:
                                                  i.            Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% (sepuluh persen)
Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak  merupakan tarif tunggal yang dikenakan terhadap semua jenis Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak. Dalam keadaan tertentu sesuai Peraturan Pemerintah, tarif Pajak Pertambahan Nilai dapat dinaikan menjadi setingi-tingginya 15% (limabelas persen) dan serendah-rendahnya 5% (lima persen).
                                                ii.            Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 0% (nol persen) Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Barang Kena Pajak sebesar 0% (nol persen) dikenakan atas ekspor Barang Kena Pajak, dimaksudkan untuk mendorong para pengusaha agar mampu menghasilkan barang untuk diekspor. Sehingga dapat bersaing dipasar luar negri. Penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% bukan berarti pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tetapi agar Pajak Masukan yang telah dibayar oleh pengusaha pada saat pembeliaan barang ekspor tersebut dapat dikreditkan.

8)      Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dapat dikelompokkan  menjadi dua, yaitu:
                                                  i.      Mekanisme PPN bersifat umum
Adapun mekanisme ini diatur dalam Pasal 9 dan 13 UU PPN Tahun 1984, sebagai berikut:
·         Setiap Pengusaha Kena Pajak (PhKP) yang menyerahkan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) diwajibkan membuat Faktur Pajak untuk memungut pajak yang terutang yang dinamakan Pajak Keluaran.
·         Pada saat Pengusaha Kena Pajak (PhKP)  tersebut diatas membeli Barang Kena Pajak (BKP) atau menerima Jasa Kena Pajak (JKP)  dari Pengusaha Kena Pajak (PhKP)  lain, Pengusaha Kena Pajak (PhKP) tersebut juga membayar pajak yang terutang disebut Pajak Masukan.
·         Pada akhir Masa Pajak, Pajak Masukan tersebut dikreditkan dengan Pajak Keluaran. Dalam hal jumlah Pajak Keluaran lebih besar dari pada Pajak Masukan, maka kelebihannya merupakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terutang yang wajib dibayar ke Kas Negara selambat-lambatnya akhir bulan berikutnya. Apabila akhir bulan tersebut itu libur, kewajiban ini harus dilakukan pada hari kerja berikutnya.
·         Apabila Pajak Masukan lebih besar dari pada Pajak Keluaran, maka kelebiahan Pajak Masukan ini dapat dikompensasikan dengan utang pajak dalam Masa Pajak berikutnya.
·         Pada akhir Masa Pajak, setiap Pengusaha Kena Pajak (PhKP) wajib melaporkan pemungutan dan pembayaran pajak yang terutang kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) selambat-lambatnya pada akhir Masa Pajak berikutnya. Dalam hal akhir masa pajak jatuh pada hari libur, pelaporan ini harus dilaporkan pada hari kerja berikutnya.
                                                  ii.      Mekanisme PPN yang bersifat khusus
Mekanisme ini diatur dalam Pasal 16A Undang-undang  Pajak Pertambahan Nilai 1984, sebagai berikut:
·         Pemungut PPN adalah bendaharawan atau instansi pemerintah, badan atau orang pribadi ditunjuk sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
·         Pengusaha Kena Pajak (PhKP) yang menyerahkan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) kepada Pemungut PPN dan wajib membuat Faktur Pajak.
·         Pada saat Pemungut PPN tersebut melakukan pembayaran Harga Jual atau Panggantian (memungut pajak yang terutang) kemudian menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama Pengusaha Kena Pajak (PhKP) tersebut pada butir kedua dan melaporkannya kepada Kantor Pelayanan Pajak.
·         Surat Setoran Pajak (SSP) tersebut pada butir ketiga kemudian diserahkan kepada Pengusaha Kena Pajak (PhKP) yang bersangkutan.

e.       Surat Pemberitahuan (SPT)
1)      Pengertian Surat Pemberitahuan (SPT)
Pengertian Surat Pemberitahuan (SPT) tertera dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada pasal 1 ayat (11) bahwa Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Berdasarkan periode pelaporannya Surat Pemberitahuan (SPT) terdiri dari Surat Pemberitahuan Masa dan Surat Pemberitahuan Tahunan. Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak, sedangkan Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
2)      Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT) (pajak.go.id):
1. Wajib Pajak PPh
                        Sebagai sarana WP untuk melaporkan dan     mempertanggung-jawabkan penghitungan jumlah pajak yang       sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :
            a. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan            sendiri atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain    dalam satu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
            b. penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan objek    pajak;
            c. harta dan kewajiban;
            d. pemotongan/pemungutan pajak orang atau badan lain dalam 1     (satu) Masa Pajak.
            2. Pengusaha Kena Pajak
                        Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung-      jawabkan penghitungan jumlah PPN dan PPnBM yang sebenarnya    terutang dan untuk melaporkan tentang :
            a. pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
            b. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan            sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain        dalam satu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan   perundang-undangan perpajakan.

                        3. Pemotong/ Pemungut Pajak
                                    Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung-jawabkan pajak yang 
     dipotong atau dipungut dan disetorkan.

3)      Prosedur Pelaporan Surat Pemberitahuan
Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar, lengkap dan jelas, dalam bahasa Indonesia yang menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya serta melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar (dikukuhkan).
Pada saat Wajib Pajak melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT), Wajib Pajak harus melalui prosedur pelaporan. Adapun prosedur pelaporan Surat Pemberitahuan adalah sebagai berikut (Direktorat Jenderal Pajak, 2012):
                                              i.    Wajib Pajak harus mengambil sendiri blanko Surat Pemberitahuan pada kantor Pemerintah Pusat (Fiskus) setempat dengan menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
                                            ii.            Surat Pemperitahuan harus diisi dengan benar dan lengkap sesuai dengan petunjuk yang diberikan, pengisian formulir Surat Pamberitahuan yang tidak benar mengakibatkan pajak terutang Kurang Bayar, dan akan dikenakan sanksi perpajakan.
                                          iii.            Surat Pemberitahuan diserahkan kembali ke Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan dalam batas waktu yang ditentukan, dan akan diberikan tanda terima tertanggal. Apabila Surat Pemberitahuan dikirimkan melalui Kantor Pos harus dilakukan secara tercatat dan tanda bukti serta tanggal pengiriman dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan.
                                          iv.  Bukti-bukti yang harus dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT), antara lain:                 
·          Untuk Wajib Pajak yang mengadakan pembukuan, Laporan Keuangan berupa Neraca dan Laporan Laba/Rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak (PhKP).
·          Untuk Surat Pemberitahuan Masa PPN sekurang-kurangnya memuat Dasar Pengenaan Pajak (DPP), jumlah Pajak Keluaran, jumlah Pajak Masukan dapat dikreditkan, dan jumlah kekurangan atau kelebihan.
·          Wajib Pajak yang menggunakan Norma Perhitungan, perhitungan jumlah peredaran yang terjadi dalam tahun pajak yang bersangkutan.
4)      Karakteristik Pelaporan Surat Pemberitahuan
Penelitian yang dilakukan oleh Juwita Tri (2007:31) Surat Pemberitahuan  (SPT) secara manual memiliki karakteristik yang berbeda dengan Surat Pemberitahuan secara elektronik (e-SPT) dalam pelaporannya, adapun karakteristik Surat Pemberitahuan manual ialah sebagai berikut:
                                                  i.            Wajib Pajak masih berhubungan secara langsung dengan petugas pajak
                                                ii.            Dibutuhkan waktu yang lama untuk merekam data Surat Pemberitahuan di Kantor Pelayanan Pajak, khususnya data lampiran Surat Pemberitahuan
                                              iii.            Sering terjadi kesalahan pada saat perekaman data, sehingga data yang dituangkan Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan (SPT) tidak sama dengan yang ada pada Direktorat Jenderal Pajak.
                                              iv.            Perekaman data Surat Pemberitahuan masih membutuhkan sumber daya manusia yang banyak.
                                                v.            Pemborosan tempat untuk menyimpan dokumen Surat Pemberitahuan.
                                              vi.            Pemborosan kertas.
                                            vii.            Memperlambat pelanggan lainnya
5)      Batas Waktu Penyampaian SPT Masa PPN
Berdasarkan Undang-undang PPN nomor 42 tahun 2009     Pasal    15 A ayat (1) dan
(2) yang berlaku 1 April 2010, berbunyi:
            ayat (1)
"Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan." ayat (2)
"Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak."
Maka sesuai dengan pasal 15 A ayat 1 UU No. 42 Tahun 2009        batas akhir penyetoran/pembayaran PPN adalah akhir bulan       berikutnya. Dan sesuai ayat 2 batas waktu pelaporannya adalah              akhir bulan berikutnya.Kalau menurut peraturan yang lama pembayaran PPN paling lambat tanggal 15, dan untuk pelaporan         tanggal 20.

f.       Surat Pemberitahuan Elektronik (e-SPT)
1)      Pengertian e-SPT
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK 03/2007 sebagimana telah diubah terakhir dengan Nomor 152/PMK.03/2009, yang dimaksud dengan e-SPT adalah data Surat Pemberitahuan (SPT) dalam bentuk program aplikasi yang merupakan fasilitas dari Direktorat Jenderal Pajak kepada Wajib Pajak yang digunakan untuk merekam Surat Pemberitahuan (SPT) beserta lampirannya, memelihara data Surat Pemberitahuan (SPT) beserta lampirannya, generate data Surat Pemberitahuan (SPT) digital serta mencetak Surat Pemberitahuan (SPT) dan dapat dilaporkan melalui media elektronik ke Kantor Pelayanan Pajak.
2)   Dasar Hukum e-SPT
e-SPT merupakan program aplikasi komputer yang dapat digunakan oleh Wajib Pajak dari Direktorat Jenderal Pajak untuk meningkatkan pelayanan pajak yang penerapannya berdasarkan aturan hukum perpajakan. Berikut aturan hukum perpajakan yang mendasari e-SPT:
                                                  i.            Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
                                                ii.            Keputusan Direktorat Jenderal Pajak Nomor Kep-327/PJ/2002 tentang Perubahan atas Keputusan Direktorat Jenderal Pajak Nomor Kep.-756/PJ/2001 tentang Penyampaian Lampiran Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dalam Bentuk Media Elektronik.
                                              iii.            Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor Per-6/PJ/2009 tentang Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan dalam Bentuk Elektronik.
3)      Kegunaan Aplikasi e-SPT
Adapun kegunaaan sistem aplikasi e-SPT adalah sebagai berikut:
                                               i.      Perekaman data SPT beserta lampirannya dan pembetulan atau koreksi. Sistem aplikasi e-SPT data digunakan untuk merekam data e-SPT beserta lampirannya dan dapat melakukan penghitungan secara otomatis pada saat perekaman. Dengan adanya sistem aplikasi ini, Wajib Pajak dapat secara langsung melakukan pembetulan atau koreksi pada Surat Pemberitahuan Induk maupun lampiran Surat Pemberitahuan bila terdapat kesalahan pemasukan data karena sistem aplikasi e-SPT memiliki fasilitas checking.
                                             ii.      Pembuatan data digital Surat Pemberitahuan. Sistem aplikasi e-SPT akan menghasilkan data SPT dalam bentuk digital dan data digital yang dihasilkan oleh program aplikasi e-SPT merupakan data yang akan dilaporkan kepada Kantor Pelayanan Pajak dalam bentuk media penyimpanan seperti disket.
                                           iii.      Cetak Surat Pemberitahuan. Sistem aplikasi e-SPT ini mempunyai fasilitas yang dapat mencetak SPT Induk. (Ramsi, 2007:25)
4)      Karakteristik Pelaporan e-SPT
Menurut penelitian  yang  dilakukan Juwita Tri (2007:38) pelaporan e-SPT memiliki karakteristik sebagai berikut :
i.    Wajib Pajak masih harus berhubungan langsung dengan petugas pajak.
ii.   Waktu lebih cepat untuk merkam data Surat Pemberitahuan (SPT).
iii.  Kesalahan langsung terditeksi pada saat proses load data yang dituangkan Wajib Pajak dalam e-SPT sama dengan data yang ada pada Direktorat Jenderal Pajak.
                                                 iv.     Pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) melalui media komputer terkadang mengalami kerusakan sehingga menghambat proses load di Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
                                                   v.     Proses load membutuhkan waktu yang lama karena jenis media yang digunakan.

5)   Keunggulan e-SPT
                  e-SPT sebagai program Direktorat Jenderal Pajak dari modernisasi administrasi perpajakan yang memiliki keunggulan diantaranya, sebagai berikut (pajak.go.id):
                                                     i.     Penyampaian SPT dapat di lakukan secara cepat dan aman, karena lampiran dalam bentuk media CD/disket
                                                   ii.     Data perpajakan terorganisir dengan baik
                                                 iii.     Sistem aplikasi e-SPT mengorganisasikan data perpajakan perusahaan dengan baik dan sistematis
                                                 iv.     Penghitungan di lakukan secara cepat dan tepat karena menggunakan sistem komputer
                                                   v.     Kemudahan dalam membuat Laporan Pajak
                                                 vi.     Data yang di sampaikan WP selalu lengkap, karena penomoron formulir dengan menggunakan sistem komputer
                                               vii.     Menghindari pemborosan penggunaan kertas
                                             viii.     Berkurangnya pekerjaan-pekerjaan klerikal perekaman SPT yang memakan sumber daya yang cukup banyak
g.      Kepatuhan Wajib Pajak
          Menurut nurmantu (2003:148), kepatuhan perpajakan didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.
          Menurut Direktorat Jenderal Pajak, kepatuhan dibagi menjadi dua macam yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Perpajakan. Sedangkan kepatuhan material adalah kepatuhan yang meliputi kepatuhan formal, yakni Wajib Pajak yang memenuhi kepatuhan material adalah Wajib Pajak yang mengisi Surat Pemberitahuan dengan jujur, lengkap, dan benar sesuai dengan ketentuan dan menyampaikannya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sebelum batas waktu berakhir. Misalnya ketentuan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah (SPT PPN dan PPnBM) paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak. Apabila Wajib Pajak telah melaporkan SPT PPN dan PPnBM sebelum akhir bulan berikutnya setelah  Masa Pajak, maka wajib pajak telah memenuhi ketentuan formal, akan tetapi isinya belum tentu memenuhi ketentuan material.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 192/PMK.03/2007 menetapkan bahwa Wajib Pajak dengan kriteria tertentu yang selanjutnya disebut sebagai Wajib Pajak Patuh adalah Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1)      Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan, yakni meliputi :
                                     i.     Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan tepat waktu dalam 3 (tiga) tahun terakhir.
                                   ii.     Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat dalam tahun terakhir untuk Masa Pajak Januari sampai November tidak lebih dari 3 (tiga) Masa Pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut.
                                  iii.     Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud diatas telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak berikutnya.
2)      Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperolah izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak.
3)      Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 2 (tiga) tahun berturut-turut.
4)      Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidan perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
Kepatuhan Wajib Pajak merupakan salah satu indikator penting       dalam mengukur seberapa besar kinerja administrasi perpajakan           oleh institusi pemungutan pajak.Untuk itu, dengan adanya   penerapan sistem aplikasi e-SPT ini diharapakan dapat   berpengaruh terhadap peningkatan kepatuhan wajib pajak.

 
J.        Tim Peneliti
Peneliti mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam melaksanakan proposal skripsi ini sehingga memudahkan peneliti dalam menyelesaikan pendidikan strata satunya di universitas pamulang.



K.      Jadwal Kegiatan
Adapun jadwal kegiatan yang akan dilakukan oleh peneliti adalah sebagai berikut :



L.       Anggaran
Demi terlaksananya penelitian ini, peneliti telah membuat anggaran untuk fasilitas penunjang penelitian ini.Adapun besarnya anggaran yang dikeluarkan adalah berdasarkan riset ke lapangan dan perkiraan yang dibuat oleh peneliti. Besarnya anggaran sebagai berikut :

M.     Pedoman Peliputan Data
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan peliputan data yang bersumber dari Universitas Pamulang yang berada didaerah Tangerang Selatan.
Adapun pedoman dalam melakukan penelitian ini menggunakan beberapa buku yang berkaitkan dan akan dibahas dalam penelitian ini.
 
N.      Metodologi Penelitian
             1.      Jenis Penelitian
           Penelitian yang dilakukan penulis adalah bersifat survey terhadap seluruh populasi Wajib  Pajak Pengusaha Kena Pajak yang terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Kebayoran Baru Tiga, yaitu dengan menganalisis jumlah SPT Masa PPN yang disampaikan oleh Wajib Pajak pada saat sebelum dan sesudah diterapkannya program e-SPT untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam melaporkan SPT.
             2.      Model Penelitian
Pada dasarnya dilakukannya penelitian adalah untuk menjawab masalah.Penelitian kuantitatif bertolak dari studi pendahuluan dari objek yang diteliti untuk mendapatkan yang betul-betul masalah.Masalah tidak dapat diperoleh dari belakang meja, oleh karena itu harus digali melalui studi pendahuluan melalui fakta-fakta empiris.Supaya peneliti dapat menggali masalah dengan baik, maka peneliti harus menguasai teori melalui membaca berbagai referensi.Selanjutnya supaya masalah dapat dijawab dengan baik maka masalah tersebut dirumuskan secara spesifik.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode survey, metode survey adalah metode penelitian yang menggunakan kuesioner sebagai instrument utama untuk menggumpulkan data.Karena validitas data sangat bergantung pada “kejujuran” responden.
              3.      Populasi dan Sampel
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang sudah tersedia dan diperoleh langsung di KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Tiga baik yang dipublikasikan maupun tidak dipublikasikan.Data yang diperoleh mencakup, sejarah singkat Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Kebayoran Baru Tiga,visi dan misi, struktur organisasi, kedudukan dan tugas pokok Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Kebayoran Baru Tiga. Serta jumlah SPT Masa PPN yang dilaporkan oleh Wajib Pajak selama 5 (lima) tahun sebelum dan 5 (lima) tahun sesudah diterapkannya program e-SPT dan jumlah Wajib Pajak Pengusaha Kena Pajak yang terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Kebayoran Baru Tiga.
               4.      Teknik Pengumpulan Data
             Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan penulis untuk melakukan penelitian ini antara lain:
a)      Studi Lapangan
Dalam teknik pengumpulan data ini penulis melakukan pengamatan (Observasi).Dengan cara mengumpulkan bukti, catatan atau laporan historis yang telah tersusun dalam arsip (data dokumen) yang dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan oleh KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Tiga.
b)      Studi Kepustakaan
Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara mengumpulkan, membaca, dan mememahami buku, literatur, catatan perkuliahan, artikel, data dari internet, serta ketentuan dalam undang-undang perpajakan yang relevan dengan permasalahan.
                  5.      Pengolahan dan Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah komparatif dua sampel yang berkorelasi dengan data kuantitatif. Dikatakan komparatif karena analisis dilakukan berdasarakan perbandiangan antara jumlah SPT Masa PPN yang dilaporkan Wajib Pajak sebelum program e-SPT dan sesudah penerapan program e-SPT untuk mengetahui kepatuhan Wajib Pajak di KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Tiga. Dikatakan analisis digunakan dengan pendekatan kuantitatif, karena pada data yang diperoleh dapat dilakukan operasi secara matematik.Data yang digunakan adalah tipe data rasio (tingkat kepatuhan). Adapun rumus untuk mencari persentase tingkat kepatuhan adalah:
Jumlah SPT Masa PPN (sebelum dan sesudah e-SPT) diterima x  100%
         Jumlah Wajib Pajak PPN Masa terdaftar
Uji hipotesis diolah dan dianalisis dengan bantuan aplikasi komputer program SPSS Versi 17. Berikut adalah langkah pengolahan data yang akan dilakukan penulis :
a)      Uji Normalitas Data
Sebelum melakukan pengolahan data, perlu dilakukannya uji normalitas terhadap data tersebut guna menentukan apakah data yang telah dikumpulkan memiliki distribusi normal. Pengujian normalitas akan mengarah kan teknik statistik yang akan digunakan untuk uji pengambilan keputusan. Bila data tersebut berdistribusi normal, maka uji statistik mengunakan teknik statistik parametrik dan apabila data tersebut berdistribusi tidak normal maka uji statistik mengguanakan teknik statistik nonparametrik.Apabila data tersebut berdistribusi normal tapi jumlah data kurang dari 30 (N < 30), maka uji statistik menggunakan teknik statistik nonparametrik.Dalam penelitian yang dilakukan penulis menggunakan jumlah data (N) sebanyak 60, maka teknik pengolahan ditentukan setelah uji normalitas data.




b)      Uji Wilcoxon Sign Rank
Teknik wilcoxon sign rank digunakan pada data yang berbentuk ordinal sebagai penyempurnaan dan uji ganda (sign test) yang diperhitungkan selisih nilai postif dan negatif dalam pengujian dua sampel berpasangan.(Sugiono,2007:131)




Uji wilcoxon sign rank dilakukan dengan menggunakan rumus:
Z = T - µT
σT
            Dimana : T = jumlah jenjang  (ranking) yang lebih kecil
                          µT = n (n + 1)
                                       4
            σT = n (n + 1) (2n + 1)
                               4
            Dengan demikian
Z = T - µT=    T -  n (n + 1)
σT                       4
                        n (n + 1) (2n + 1)
                                   4

            Adapun dasar pengambilan keputusan adalah sebagai berikut:
a.       Dengan membandingkan nilai z hitung dengan z tabel
Jika hasil z hitung > z tabel, maka Ho ditolak
Jika hasil z hitung < z tabel, maka Ho diterima
b.      Dengan melihat nilai probabilitas 5 % dengan ketentuan
Probabilitas Sig. > 0.05, maka Ho ditolak
Probabilitas Sig. < 0.05, maka Ho diterima
6.      Operasional Variabelaftar Purstaka
Operasional variabel adalah penarikan batasan yang lebih menjelaskan ciri-ciri spesifik yang lebih substantive dari suatu konsep. Tujuan operasional variable agar peneliti dapat mencapai suatu alat ukur yang sesuai hakikat variable yang sudah didefinisikan konsepnya, maka peneliti harus memasukkan proses atau operasionalnya alat ukur yang akan digunakan untuk kuantifikasi gejala atau variable yang ditelitinya. Dan menurut Sugiyono (2010:58), Operasional Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi mengenai hal tersebut dan kemudian ditarik kesimpulannya.
Dalam penelitian ini terdapat tiga variable yang diteliti yaitu 2 variabel independen dan 1 variabe1 dependen , variabel independen ini sering disebut sebagai variabel bebas dimana variabel bebas ini merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen atau terikat. Dan variabel bebas dalam penelitian ini adalah Sikap Wajib Pajak, Persepsi Keunggulan Relatif dan variabel dependen atau terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas, variabel terikat dalam penelitian ini adalah Penggunaan e-SPT PPN .
a.              Variabel Independen ( X )
Adalah variabel yang faktornya diukur, dimanipulasi atau dipilih oleh peneliti untuk menentukan hubungannya dengan suatu gejala yang diobservasi dan variabel independen merupakan variabel yang dapat mempengaruhi variabel dependen.
b.             Variabel Dependen ( Y )
Adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat dari variabel independen. Variabel ini merupakan focus utama dari penelitian. Variabel inilah yang nilainya diamati dan diukur untuk menentukan pengaruh dari variabel independen.

O.      Daftar Pustaka
Bina Fiscal Indonesia.(2014). Pajak Terapan Brevet A & B Modul 1.Tangerang
       Selatan: Bina Fiscal Indonesia
Ilyas & Suhartono.(2007). Pajak Penghasilan.Jakarta: Fakultas Ekonomi
       Universitas Indonesia
Mardiasmo. (2009).Perpajakan.Edisi Revisi 2009, Yogyakarta: Andi
Nurmantu, Safri, (2005).Pengantar Perpajakan.Jakarta: Granit
pajak.go.id
Sekaran, Uma. (2014). Research Methods For Business (Edisi 4). Jakarta: Salemba
       Empat
Soemarso. (2003).“Akuntansi Suatu Pengantar II”. Jakarta: Salemba Empat
Soemitro, H. Rochmat, (1998).Asas dan Dasar Perpajakan 1, Bandung: Refika
       Aditama
Sugiyono.(2007). Metode Penelitian Administrasi.Bandung: Alfabeta
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
       Alfabeta
Sugiyono.(2014). Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Jakarta: Alfabeta
tarif.depkeu.go.id