A.
Latar
Belakang Masalah
Pajak merupakan sumber
utama penerimaan negara disamping penerimaan dari sumber migas dan non
migas.Dengan posisi yang demikian itu, pajak merupakan sumber penerimaan
strategis yang harus dikelola dengan baik agar keuangan negara dapat berjalan
dengan lancar dan baik.Dalam struktur keuangan negara, tugas dan fungsi
penerimaan pajak dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak dibawah Departemen
Keuangan Republik Indonesia. Jenis-jenis pajak yang dikelola oleh Direktorat
Jenderal Pajak meliputi Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),
Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM).
Dari tahun ketahun
telah dilakukan berbagai langkah dan kebijakan untuk meningkatkan penerimaan
pajak sebagai sumber penerimaan negara. Kebijakan tersebut dapat dilakukan
melalui penyempurnaan perundang-undangan, penerbitan peraturan-peraturan baru
dibidang perpajakan, meningkatkan
kepatuhan Wajib Pajak maupun menggali sumber-sumber pajak lainnya.
Dalam situsnya
(pajak.go.id), Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan mencatat rasio kepatuhan Wajib Pajak dalam
menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahuanan hingga April 2010 telah
mencapai 54,84% atau 7,73 juta wajib pajak. Pada tahun 2009 rasio kepatuhan
Wajib Pajak hanya 5.413.114 atau sebesar 52,61% dengan jumlah Wajib Pajak
terdaftar sebanyak 10.289.590.
Perlu diketahui,
tingkat kepatuhan Wajib Pajak di Indonesia dinilai masih rendah walaupun
terjadi peningkatan tiap periodenya.Hal ini ditunjukkan oleh tax coverage ratio yang masih rendah. Tax coverage ratio adalah perbandingan
antara besarnya pajak yang telah dipungut dibandingkan dengan besarnya potensi
pajak yang seharusnya dapat dipungut. Tax
coverage ratio merupakan indikator untuk menilai tingkat keberhasilan pemungutan
pajak.
Untuk meningkatkan
rasio kepatuhan, fiskus terus melakukan inventarisasi Wajib Pajak dan Pengusaha
Kena Pajak. Terutama mereka yang tidak atau belum menyampaikan SPT tahunan PPh
dan SPT masa PPN untuk tahun masa pajak sebelumnya.
Pada umumnya di negara
berkembang, sebagian besar penerimaan pajaknya berasal dari jenis pajak tidak
langsung misalnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Hal ini disebabkan pada negara
berkembang golongan berpenghasilan tinggi lebih rendah persentasenya dari
penghasilan golongan pada umumnya.
e-Registration,
e-SPT, e-Filling dan e-Payment merupakan salah
satu bagian dari proses modernisasi administrasi perpajakan agar Wajib Pajak
memperoleh kemudahan dalam memenuhi kewajibannya, sehingga pemenuhan kewajiban
perpajakan dapat lebih mudah dilaksanakan dan tujuan administrasi perpajakan
lebih tertib dan transparan dapat tercapai. Kemudahan pemenuhan kewajiban
perpajakan diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, oleh karena itu
sosialisasi secara intens serta terus menerus perlu ditingkatkan sejalan dengan
peningkatan profesionalitas petugas pajak. Sehingga tujuan administrasi
perpajakan yang profesional dan modern dapat terwujud.
Pada prinsip e-Registration, e-SPT, e-Filling dan
e-Payment bertujuan untuk mempermudah Wajib Pajak memenuhi kewajiban
perpajakannya tanpa adanya persentuhan dengan petugas pajak (fiskus). Secara
fungsional e-Registration, e-SPT,
e-Filling dan e-Payment merupakan sarana komunikasi antara Wajib Pajak dan
fiskus. Bagi Wajib Pajak, Surat Pemberitahuan (SPT) merupakan sarana
pertanggungjawaban kewajiban perpajakan selama satu periode fiscal. Sedangkan
bagi fikus Surat Pemberitahuan (SPT) merupakan sarana pemantauan terhadap
pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
Tujuan utama layanan
pelaporan perpajakan tersebut adalah untuk menyediakan fasilitas pelaporan
Surat Pemberitahuan (SPT) secara elektronik kepada Wajib Pajak, sehingga
mempermudah Wajib Pajak dalam melakukan pengisian SPT dimana saja. Yang
dimaksud dengan e-SPT masa PPN adalah Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dalam bentuk elektronik, yang formulirnya dapat diunduh
secara gratis. Program ini ini merupakan fasilitas yang diberikan oleh
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kepada Wajib Pajak yang digunakan untuk merekam,
memelihara data serta mencetak Surat Pemberitahuan (SPT) beserta lampirannya
dan dilaporkan melalui media elektronik kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
tempat Wajib Pajak terdaftar.
Berdasarkan uraian
tersebut, penulis berniat untuk meneliti mengenai penerapan program e-SPT
sebagai upaya fiskus untuk meningkatkan pelayanan perpajakan dan kepatuhan
Wajib Pajak dalam melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) khususnya SPT Masa PPN
kedalam skripsi yang berjudul “Analisis
Kepatuhan Wajib Pajak Sebelum dan Sesudah Penerapan Program e-SPT Dalam
Melaporkan SPT Masa PPN pada KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Tiga”.
B.
Identifikasi
Masalah
Dari uraian latar
belakang tersebut, maka penulis mengidentifikasikan masalah sebagai berikut:
1. Kepatuhan
Wajib Pajak di Indonesia masih rendah meskipun terjadi peningkatan penerimaan
pajak pada setiap periodenya.
2. Adanya
upaya fiskus memodernisaisi administrasi perpajakan, yaitu salah satunya dengan
menerapankan program Surat Pemberitahuan secara elektronik (e-SPT).
3. Program
e-SPT merupakan mordernisasi administrasi perpajakan untuk meningkatkan
kepatuhan Wajib Pajak dalam melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT).
4. Dengan
meningkatnya kepatuhan Wajib Pajak dalam melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT),
fiskus beranggapan dapat mengoptimalkan penerimaan pajak.
C.
Pembatasan
Masalah
1. Kepatuhan (adherence) adalah suatu bentuk perilaku yang timbul akibat adanya
interaksi antara petugas kesehatan dan pasien sehingga pasien mengerti
rencana dengan segala konsekwensinya dan menyetujui rencana tersebut serta melaksanakannya (Kemenkes R.I.,2011).
2. Wajib Pajak (WP) adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak,
pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan. (pajak.go.id)
3. Menurut Norman D. Nowak yang dikutip oleh
Mohammad Zain (2007,31)
menyatakan bahwa kepatuhan Wajib Pajak adalah suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan
kewajiban perpajakan, tercermin dalam
situasi dimana:
a.)Wajib Pajak Paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan perundang-undangan perpajakan.
b.) Mengisi
formulir pajak dengan lengkap dan jelas.
c.) Menghitung pajak yang terhitung dengan benar.
d.) Membayar
pajak yang terutang tepat pada waktunya.
4. Aplikasi atau program e-SPT atau disebut
dengan Elektronik SPT adalah
aplikasi yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk digunakan oleh Wajib Pajak untuk kemudahan
dalam menyampaikan SPT (pajak.go.id).
5. Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib pajak digunakan untuk melaporkan
penghitungan dan atau pembayaran pajak, objek
pajak dan atau bukan objek pajak dan atau
harta dan kewajiban, menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
6. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang
dikenakan atas setiap pertambahan
nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax
(VAT) atau Goods and Services Tax (GST).
D.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah yang telah dipaparkan, maka penulis merumuskan masalah sebagai
berikut:
1.
Apakah terdapat
perbedaan kepatuhan Wajib Pajak sebelum dan sesudah penerapan program e-SPT
dalam melaporkan SPT masa PPN pada tahun pajak 2000 sampai dengan 2009?
2.
Berapakah besar
perbedaan kepatuhan Wajib Pajak dalam melaporkan SPT masa PPN setelah penerapan
program e-SPT pada tahun pajak 2000 sampai dengan 2009?
E.
Tujuan
dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang dilakukan
penulis adalah sebagai berikut:
a) Mengetahui
perbedaan kepatuhan Wajib Pajak dalam melaporkan SPT masa PPN sebelum dan
sesudah penerapan program e-SPT.
b) Mengetahui
berapakah besar perbedaan kepatuhan Wajib Pajak dalam melaporkan SPT Masa PPN
setelah penerapan progam e-SPT.
2. Manfaat
Penelitian
a) Bagi
Penulis
Dapat menambah ilmu pengetahuan dan
pengalaman dalam perpajakan khususnya mengenai pangetahuan tentang pelaporan
SPT Masa PPN sebelum dan sesudah penerapan program e-SPT. Serta sebagai salah
satu syarat bagi penulis untuk memenuhi syarat kelulusan mata kuliah Metodologi
Penelitian di Fakultas Ekonomi Universitas Pamulang.
b) Bagi
Wajib Pajak
Diharapkan Wajib Pajak maupun calon
Wajib Pajak mengetahui bahwa penerapan program e-SPT merupakan upaya fiskus
meningkatkan pelayanan administrasi perpajakan menggunakan media elektronik
untuk mempermudah Wajib Pajak dalam melaporkan SPT Masa PPN.
c) Bagi
Ilmu Pengetahuan
Diharapkan penulis dapat memberi
sumbangan berupa pengetahuan bagi masyarakat, mahasiswa atau mahasiswi yang
mendalami ilmu perpajakan.
F.
Kerangka
Pemikiran
Kerangka berpikir
merupakan intisari dari teori yang telah dikembangkan yang dapat mendasari
perumusan hipotesis.Teori yang telah dikembangkan dalam rangka memberi jawaban
terhadap pendekatan pemecahan masalah yang menyatakan hubungan antar variabel
berdasarkan pembahasan teoritis. Untuk mempermudah pemahaman, penulis
mengilustrasikan kerangka pemikiran dalam bentuk skema sebagai berikut:
G.
Hipotesis
Hipotesis bisa didefinisikan
sebagai hubungan yang diperkirakan secara logis diantara dua atau lebih
variabel yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan yang dapat diuji. Hubungan
tersebut diperkirakan berdasarkan jaringan asosiasi yang ditetapkan dalam
kerangka teoretis yang dirumuskan untuk studi penelitian (Sekaran, 2014:135)
Dengan demikian hipotesis
statistik adalah pernyataan atau dugaan mengenai keadaan populasi yang masih
bersifat sementara atau lemah kebenarannya.Bila tes hipotesis tersebut
dilakukan terhadap data dengan metode statistik, maka perhitungannya juga
menggunakan perhitungan statistik.
Pengujian hipotesis dapat
didasarkan dengan menggunakan dua hal, yaitu tingkat signifikan atau
probabilitas (α) dan tingkat kepercayaan atau confidence interval.Tingkat signifikan adalah probabilitas
melakukan kesalahan tipe 1, yaitu kesalahan menolak hipotesis ketika hipotesis
tersebut benar. Berdasarkan tingkat signifikan pada umumnya menggunakan 5%
(0,05).Kisaran signifikan mulai dari 0.01 sampai dengan 0.1. Tingkat
kepercayaan ialah tingkat dimana sebesar 95% nilai sampel akan mewakiili nilai
populasi dimana sampel berasal, tingkat kepercayaan umumnya ialah sebesar 95%.
Hipotesis dinotasikan dengan “Ho” dan lawannya alternatif hipotesis dengan
notasi “Ha”.
Dalam
penelitian ini, peneliti mengguanakan hipotesis dan alternatif hipotesisnya
sebagai berikut :
Ho
= Tidak terdapat perbedaan antara
sebelum dan sesudah dilakukannya program e-SPT terhadap kepatuhan Wajib Pajak.
Ha
= Terdapat perbedaan antara sebelum dan
sesudah dilakukannya program e-SPT terhadap kepatuhan Wajib Pajak.
H.
Sistematika
Penulisan
Sistematika penulisan ini
dibuat dengan tujuan untuk memberikan gambaran mengenai skripsi secara singkat,
sehingga pembaca lebih mudah untuk memahaminya. Penulis membuat outline dan
sistematika penulisan dengan membaginya dalam lima bab dan setiap bab terbagai
atas sub bab, adapun susunannya adalah sebagai berikut :
Sampul Muka
Halaman Pengesahan
Halaman Pernyataan
Halaman Abstrak (Bahasa Indonesia)
Halaman Abstrak (Bahasa Inggris)
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar
Daftar Lampiran
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
B.
Identifikasi Masalah
C.
Pembatasan Masalah
D.
Perumusan Masalah
E.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
F.
Kerangka Pemikiran
G.
Hipotesis
H.
Sistematika Penulisan
I.
Teori
BAB II Tinjauan Pustaka
BAB III Metodologi Penelitian
A.
Jenis Penelitian
B.
Model Penelitian
C.
Populasi dan Sampel
D.
Teknik Pengumpulan Data
E.
Pengolahan dan Analisis Data
F.
Operasional Variabel
BAB IV
Hasil dan Pembahasan
BAB V
Kesimpulan dan Saran
Daftar Pustaka
Lampiran
Surat Bukti atau Keterangan Melakukan
Penelitian
I.
Pendekatan
Data dan Keilmuan
- Landasan Teori
a)
Pengertian
Pajak
Untuk memahami apa yang
dimaksud dengan pengertian pajak penulis memperoleh bermacam-macam definisi
tentang pajak yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah:
Menurut Undang Undang
No. 16 Tahun 2000 (Direktorat Jenderal Pajak, 2015), pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan
untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sedangkan pengertian
pajak menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang,
dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan
negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kemudian dari
pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang melekat pada
pengertian pajak adalah, sebagai berikut (pajak.go.id):
1) Pajak
dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang.
2) Dalam
pembayaran pajak tidak ditunjukkan adanya kontraprestasi.
3) Pajak
dipungut oleh negara baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.
4) Pajak
diperuntukkan untuk pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih
dapat surplus akan dipergunakan untuk membiayai investasi publik.
5) Pajak
dapat pula membiayai tujuan yang tidak budgeter,
yaitu mengatur pelaksanaan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial.
b) Fungsi Pajak
Menurut Mardiasmo (2009:1), ada dua fungsi pajak yaitu
sebagai fungsi penerimaan dan fungsi mengatur, berikut penjelasannya:
1) Fungsi penerimaan (budgetair)
Pajak berfungsi sebagai sumber dana bagi
pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
2) Fungsi mengatur (reguleren)
Pajak berfungsi sebagai
alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang
sosial dan ekonomi. Sebagai contoh yaitu pajak yang tinggi dikenakan terhadap
minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras, pajak yang tinggi pula
dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif,
tarif pajak untuk ekspor sebesar 0% untuk mendorong ekspor produk indonesia di
pasaran dunia.
Dari pendapat yang
telah dikemukakan tentang fungsi pajak tersebut
maka dapat dijelaskan bahwa pajak mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya
dalam pelaksanaan pembangunan
karena pajak merupakan sumber pendapatan
negara untuk membiayai semua pengeluaran dalam melaksakan
pembangunan.
c) Sistem Pemungutan Pajak
Pada dasarnya ada 3
sistem pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia, yaitu (Bina Fiscal
Indonesia,2014):
1) Official Assesment
System, adalah sistem pemungutan pajak dimana
jumlah pajak yang diunasi atau terutang oleh wajib pajak dihitung dan
ditetapkan oleh fiskus. Jadi dalam sistem ini Wajib Pajak bersifat pasif
sedangkan fiskus bersifat aktif. Menurut sistem ini utang pajak timbul apabila
telah ada ketetapan pajak dari fikus.
Sistem ini diterapkan dalam hal
pelunasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dimana KPP akan mengeluarkan surat
ketetapan pajak mengenai besarnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang terhutang
setiap tahun. Jadi Wajib Pajak tidak perlu menghitung sendiri, tapi cukup
membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) berdasarkan Surat Pembayaran Pajak
Terutang (SPPT) yang dikeluarkan oleh KPP dimana tempat objek pajak tersebut
terdaftar.
2) Self Assesment System,
adalah sistem pemungutan pajak dimana Wajib Pajak harus menghitung,
memperhitungkan, membayar dan melaporkan jumlah pajak yang terutang. Fiskus
hanya bertugas melakukan penyuluhan dan pengawasan untuk mengetahui kepatuahan
Wajib Pajak. Dengan demikian jika dihubungkan dengan ajaran timbulnya utang
pajak, maka Self AssesmentSystem
sesuai dengan timbulnya utang pajak menurut ajaran materiil artinya utang pajak
timbul apabila ada yang menyebabkan timbulnya utang pajak. Sistem diterapkan dalam penyampaian SPT Tahunan PPh
(baik untuk Wajib Pajak Badan maupun Wajib Pajak Orang Pribadi), dan SPT Masa
PPN.
3) WithHolding System,
adalah sistem pemungutan pajak dimana besarnya pajak terutang dihitung dan dipotong
oleh pihak ketiga, yang dimaksud disini antara lain pemberi kerja dan
bendaharawan pemerintah. Sementara with
holding system diterapkan dalam mekanisme pemotongan/pemungutan sesuai PPh
Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Final Pasal 4 Ayat (2),
PPh Pasal 15, dan PPN. Sebagai bukti atas pelunasan pajak ini biasanya berupa
bukti potong atau bukti pungut. Dalam kasus tertentu ada juga yang berupa Surat
Setoran Pajak (SSP). Bukti-bukti pemotongan ini nanti dilampirkan dalam SPT Tahunan
PPh/SPT Masa PPN dari Wajib Pajak yang bersangkutan.
d)
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
1) Pengertian
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Untuk memahami Pajak
Pertambahan Nilai (PPN), perlu diketahui defenisi Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
yang dikemukakan oleh beberapa ahli, antara lain:
Menurut Soemarso (2003
: 296) dalam buku Akuntansi Suatu Pegantar mengatakan bahwa “Pajak Pertambahan
Nilai merupakan pajak yang dikenakan pada waktu perusahaan melakukan pembelian
atas BKP/JKP yang dikenakan dari Dasar
Penganaan Pajak (DPP).”
Menurut Ilyas dan
Suharto (2007:8) dalam buku Pajak Pertambahan Nilai dan Penjualan Barang Mewah
mengatakan bahwa “dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak
terdapat defenisi mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah (PPnBM), sehingga setiap orang dapat secara bebas memberikan
defenisi mengenai pajak tersebut.”
Dari pengertian
tersebut di atas, walaupun pada hakekatnya defenisi tersebut berbeda, tapi pada
dasarnya maksud dan tujuan yang terkandung didalamnya adalah sama. Secara umun
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terdiri dari dua komponen, yaitu Pajak Masukan
dan Pajak Keluaran.
Menurut Soemarso
(2003:270) “Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dibayar
pada waktu pembelian atau impor Barang Kena Pajak serta penerimaan jasa kena
pajak dapat di kreditkan untuk masa pajak yang sama. Dalam hal tertentu, Pajak
Masukan tidak dapat dikreditkan.Sedangkan Pajak Keluaran adalah pajak yang
dikenakan atas penjualan Barang Kena Pajak yang ditambahkan sebesar 10% dari
harga jual.”
Menurut Undang-undang
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Nomor 42 Tahun 2009 Pasal (1) “Pajak Masukan
adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha
Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan atau penerimaan Jasa Kena
Pajak dan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari lauar Daerah
Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan atau
impor Barang Kena Pajak. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang
yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud,
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.”
2) Dasar
Hukum Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Adapun dasar hukum
Pajak Pertambahan Nilai adalah Undang-undang PPN Nomor 8 Tahun 1983 tanggal 31
Desember 1983, tentang PPN dan PPnBM. Undang-undang ini berlaku pada tanggal 1
Juli Tahun 1984 dan mengalami beberapa kali perubahan, diantaranya:
a. Perubahan
I : Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 tanggal 9 November 1994, berlaku sejak 1
Januari 1995
b. Perubahan
II : Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 tanggal 2 Agustus 2000, berlaku sejak 1
Januari 2001
c. Perubahan
III : Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tanggal 15 Oktober 2009, berlaku sejak
1 April 2010. Meskipun terjadi perubahan Undang-undang hingga yang
terakhir yakni
Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009, dasar
hukum Pajak Pertambahan
Nilai tetap dikenal dengan istilah
“ UU PPN 1984”.
3) Subjek
dan Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Berdasarkan
Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Nomor 42 Tahun 2009, subjek Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) ialah Pengusaha Kena Pajak. Pengusaha Kena Pajak (PhKP)
adalah pengusaha yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa
Kena
Pajak (JKP), tidak termasuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tanggal 23 Maret 2010 tentang
Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai. Kecuali pengusaha kecil
tersebut memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PhKP).
Pengusaha dikatakan sebagai Pengusaha Kena Pajak apabila melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa
Kena Pajak (JKP) dengan jumlah peredaran
Bruto dan/ atau penerimaan bruto melebihi Rp.600.000.000,- (enam ratus juta
rupiah) dalam satu tahun.
Yang dimaksud dengan
Barang Kena Pajak (BKP) adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya
dapat berupa barang bergerak, dan barang tidak berwujud yang dikenai Pajak
Pertambahan Nilai (PPN).Jasa Kena Pajak (JKP) adalah setiap kegiatan pelayanan
berdasarkan suatu perikatan/ perbuatan hukum yang menyebabkan suatu
barang/fasilitas/kemudahan/hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang
dilakukan untuk menghasilkan barang kena pesanan/ permintaan dengan bahan dan
atas petunjuk dari pemesan, yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Sedangkan Objek Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) diatur dalam Pasal 4, Pasal 16C dan Pasal 16D UU Nomor
8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009
adalah sebagai berikut :
a. Penyerahan
Barang Kena Pajak (BKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan pengusaha
b. Impor
Barang Kena Pajak (BKP)
c. Penyerahan
Jasa Kena Pajak (JKP) dalam Daerah Pabean yang dilakukan pengusaha
d. Pemanfaatan
Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud dari luar ke dalam Daerah Pabean
e. Pemanfaatan
Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean
f. Ekspor
Barang Kena Pajak (BKP) berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
g. Ekspor
Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud
oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
h. Ekspor
Jasa Kena Pajak (JKP) oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
4) Kriteria
Barang dan Jasa Tidak Kena Pajak Pertambahan Nilai
Pada dasarnya semua
barang dapat dikenakan Pajak Pertambahan Nilai kecuali Undang-undang menetapkan
sebaliknya, yaitu dalam Pasal 4A ayat (2) UU PPN Tahun 1984 yang menyebutkan
kriteria barang yang dikecualikan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah
sebagai berikut:
a. Barang
hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya.
Misalnya minyak mentah (crude oil),
gas bumi, panas bumi, pasir dan kerikil, batu bara sebelum diolah menjadi
briket, biji besi, biji timah, biji emas, biji nikel, biji tembaga, biji perak,
biji bauksit.
b. Barang
kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak. Misalnya beras,
gabah, jagung, sagu, kedelai, dan garam.
c. Makanan
dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan
sejenisnya baik yang dikonsumsi ditempat maupun tidak, termasuk makanan dan
minuman yang diserahkan oleh usaha boga atau katring.
d. Uang,
emas batangan dan surat berharga.
Dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPN Tahun 1984
menentukan kriteria jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai,
diantaranya :
a. Jasa
dibidang pelayanan medik
b.Jasa
dibidang pelayanan sosial
c. Jasa
dibidang pengiriman surat dengan perangko
d. Jasa
keuangan dan jasa asuransi
e. Jasa
dibidang keagamaan
f. Jasa
dibidang pendidikan
g.Jasa
dibidang kesenian dan hiburan
h.Jasa
dibidang penyiaran (baik radio maupun televisi) yang bukan bersifat iklan
i. Jasa
dibidang angkutan umum
j. Jasa
dibidang tenaga kerja
k.Jasa
dibidang perhotelan
l. Jasa
yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara
umum
a) Jasa
penyediaan tempat parkir
b) Jasa
telepon umum dengan menggunakan uang logam
c) Jasa
pengiriman uang dengan wesel pos
d) Jasa
boga atau ketring
5) Karakteristik
Pajak Pertambahan Nilai
Pajak Pertambahan Nilai
mempunyai beberapa karakteristik diantaranya, yaitu (tarif.depkeu.go.id):
1. Pajak Objektif. Yang dimaksud dengan pajak objektif adalah suatu jenis
pajak yang timbulnya kewajiban pajaknya sangat ditentukan oleh objek pajak.
Keadaan subjek pajak tidak menjadi penentu kecuali untuk kasus tertentu.
2. Dikenakan pada setiap rantai distribusi (Multi Stage Tax). Sepanjang
suatu transaksi memenuhi syarat sebagaimana disebutkan dalam angka 2, maka
pihak PKP Penjual berkewajiban memungut PPN atas transaksi yang terjadi dan
kemudian menyetorkan ke Kas Negara dan melaporkannya.
3. Menggunakan mekanisme pengkreditan. Sesuai dengan namanya maka pada
hakekatnya PPN hanya dikenakan atas nilai tambah yang terjadi atas BKP karena
adanya proses pabrikasi maupun distribusi. Oleh karena itu PPN yang terutang
dalam suatu Masa Pajak diperhitungkan terlebih dahulu dengan PPN yang telah
dibayarkan oleh PKP pada saat pembelian bahan baku dan faktor produksi lainnya,
sehingga meskipun PPN dikenakan beberapa kali namun tidak menimbulkan efek
pajak berganda.
4. Merupakan pajak atas konsumsi dalam negeri. Oleh karena itu salah satu
syarat dikenakannya PPN atas suatu transaksi adalah bahwa BKP/JKP dikonsumsi di
dalam Daerah Pabean. Hal inilah yang mendasari pengenaan PPN dengan tarif 0%
atas kegiatan ekspor sedangkan untuk kegiatan impor tetap dikenakan PPN 10%.
5. Merupakan beban konsumen akhir. PPN merupakan pajak tidak langsung
sehingga beban pajaknya bisa dialihkan oleh PKP. Pengenaan PPN yang dilakukan
beberapa kali tidak menjadi beban PKP karena beban PPN tersebut pada akhirnya
akan dialihkan kepada konsumen yang menikmati BKP pada rantai terakhir.
6. Netral terhadap persaingan. PPN bukan merupakan beban yang menambah
harga pokok penjualan karena PPN menganut sistem pengkreditan yang memungkinkan
PPN yang dibayarkan pada saat pembelian diperhitungkan dengan PPN yang harus
dipungut saat penjualan.
7. Menganut destination principle. Untuk menentukan suatu transaksi
dikenakan PPN atau tidak, terlebih dahulu harus dilihat di negara mana pihak
konsumen berada. Apabila konsumen berada di luar negeri maka transaksi tersebut
tidak dikenakan PPN karena PPN adalah pajak atas konsumsi dalam negeri.
Dari beberapa
karakteristik Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tersebut diatas, dapat dikemukakan
bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) memiliki beberapa kelebihan yang tidak
dimiliki oleh Pajak Penjualan. Meskipun demikian, sebagai suatu sistem,
ternyata Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga tidak bebas sama sekali beberapa
kekurangan (UU No. 42 Tahun 2009).
Berikut kelebihan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN):
1. Mecegah
terjadinya pengenaan pajak berganda
2. Netral
dalam perdangan dalam dan luar negeri
3. Pajak
Pertambahan Nilai atas perolehan Barang Modal dapat diperoleh kembali pada
bulan perolehan, sesuai dengan tipe konsumsi ( consumption type VAT ) dan metode pengurangan tidak langsung ( inderct subtraction method ).
4. Ditinjau
dari sumber pendapatan Negara, Pajak Pertambahan Nilai mendapat predikat
sebagai “money maker” karena konsumen
selaku pemikul beban pajak tidak merasa dibebani oleh pajak tersebut sehingga
memudahkan fiskus untuk memungutnya.
Adapun yang menjadi beberapa kelemahan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) :
5. Biaya
administrasi relatif tinggi bila dibandingkan dengan Pajak Tidak langsung
lainnya, baik dipihak administrasi pajak maupun dipihak Wajib Pajak.Menimbulkan
dampak regresif, yaitu semakin tinggi tingkat kemampuan konsumen, semakin
ringan beban pajak yang dipikul, dan sebaliknya semakin rendah tingkat
kemampuan konsumen, semakin berat beban pajak yang dipikul. Dampak ini timbul sebagai
konsekuensi karakteristik Pajak Pertambahan Nilai sebagai Pajak Objektif.
6. Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) sangat rawan dari upaya penyelundupan pajak. Kerawanan
ini ditimbulakan sebagai dari akibat mekanisme pengkreditan yang merupakan
upaya memperoleh kembali pajak yang dibayar oleh pengusaha dalam bulan yang
sama tanpa terlebih dahulu memalaui prosedur administrasi fiskus.
Konsekuensi dari
kelemahan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tersebut menuntut tingkat pengawasan
yang lebih cermat oleh administrasi
pajak terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban
perpajakan.
6) Penghitungan
Dasar Pengenaan Pajak PPN
Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang terutang
dilakukan dengan cara mengalikan jumlah harga jual/ pengganti/ nilai impor/
nilai ekspor atau nilai lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan
dengan tarif pajak sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1). Pajak yang
terutang ini merupakan Pajak Keluaran, yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak
(PhKP).
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan hanya untuk menjamin rasa
keadilan. Dasar Pengenaan Pajak adalah dasar yang dipakai untuk menghitung
pajak yang terutang, yaitu :
i.
Harga Jual adalah nilai
berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh
penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai yang dipungut dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
Harga jual dapat diperoleh dengan menjumlahkan harga pembelian bahan baku,
bahan pembantu, alat pelengkap lainnya ditambah
biaya-biaya seperti penyusutan barang modal, bunga pinjaman dari bank,
gaji dan upah tenaga kerja, manajemen, serta laba usaha yang diharapkan.
ii.
Penggantian adalah
nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta
oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang
dipungut dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. Nilai
penggantian merupakan taksiran untuk mengganti biaya yang dikeluarkan untuk
mendapatkan profesi, keterampilan, dan pengalaman yang memberikan pelayanan
dalam arti “jasa” tersebut. Jika harga jual atau nilai penggantian menggunakan
mata uang asing, maka harus dikonversikan kedalam mata uang rupiah dengan
Keputusan Menteri Keuangan mengenai kurs yang berlaku saat itu.
iii.
Nilai Impor adalah
nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk ditambah pungutan
lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
Pabean untuk Impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai
yang dipungut menurut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai. Nilai yang menjadi
Dasar Pengenaan Pajak adalah harga patokan impor atau Cost Insurance and Freight (CIF) sebagai dasar penghitungan bea
masuk ditambah dengan semua biaya dan pungutan lain menurut ketentuan Peraturan
Perundang-undangan Pabean. Maka untuk menghitung Nilai Impor sebagai Dasar
Pengenaan Pajak adalah penjumlahan Cost
Insurance and Freight (CIF) dan Bea masuk.
iv.
Nilai Ekspor adalah
nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta
oleh eksportir.
v.
Nilai Lain adalah suatu
jumlah yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak dengan Keputusan Menteri
Keuangan. Nilai lain yang ditetapkan Sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah
sebagai berikut:
·
Untuk pemakaian sendiri
Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak adalah Harga Jual atau Penggantian
setelah dikurangi laba kotor.
·
Untuk pemberian
cuma-cuma Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak adalah Harga Jual atau
Penggantian setelah dikurangi laba kotor.
·
Untuk penyerahan media
rekaman suara atau gambar adalah perkiraan Harga Jual Rata.
·
Untuk penyerahan Film
cerita adalah perkiraan hasil rata-rata perjudul film.
·
Untuk persediaan Barang
Kena Pajak yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, adalah harga
pasar yang wajar.
·
Untuk aktiva yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sepanjang Pajak Pertambahan
Nilai atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan,
adalah harga pasar wajar.
·
Untuk kendaraan
bermotor bekas adalah 10% (sepuluh persen) dari harga jual.
·
Untuk penyerahan jasa
giro perjalanan atau jasa giro pariwisata adalah 10% (sepuluh persen) dari
jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
·
Untuk jasa pengiriman
paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau yang seharusnya
ditagih.
·
Untuk jasa anjak
piutang adalah 5% (lima persen) dari jumlah seluruh imbalan yang diterima
berupa service charge, provisi, dan
diskon.
·
Untuk penyerahan Barang
Kena Pajak/Jasa Kena Pajak dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan penyerahan
Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak antar cabang adalah Harga Jual atau
Penggantian setelah dikurangi laba kotor.
·
Untuk penyerahan Barang
Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang adalah harga
lelang.
7) Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) memungut sistem tarif tunggal
yaitu 10% (sepuluh persen).Namun demikian, mengingat UU PPN menganut azas destination principle dalam pengenaan
pajaknya maka untuk kegiatan ekspor dikenakan tarif 0% (nol persen).Pengenaan
tarif 0% (nol persen) atas ekspor Barang Kena Pajak (BKP) adalah dimaksudkan
agar dalam harga barang yang diekspor tidak terkandung Pajak Pertambahan Nilai
(PPN).
Dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2010 Pasal 7 ayat (1),
tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah sebagai berikut:
i.
Tarif Pajak Pertambahan
Nilai sebesar 10% (sepuluh persen)
Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak merupakan tarif tunggal yang dikenakan
terhadap semua jenis Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak. Dalam keadaan
tertentu sesuai Peraturan Pemerintah, tarif Pajak Pertambahan Nilai dapat
dinaikan menjadi setingi-tingginya 15% (limabelas persen) dan serendah-rendahnya
5% (lima persen).
ii.
Tarif Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) sebesar 0% (nol persen) Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Barang
Kena Pajak sebesar 0% (nol persen) dikenakan atas ekspor Barang Kena Pajak,
dimaksudkan untuk mendorong para pengusaha agar mampu menghasilkan barang untuk
diekspor. Sehingga dapat bersaing dipasar luar negri. Penerapan tarif Pajak
Pertambahan Nilai sebesar 0% bukan berarti pembebasan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai, tetapi agar Pajak Masukan yang telah dibayar oleh pengusaha
pada saat pembeliaan barang ekspor tersebut dapat dikreditkan.
8) Mekanisme
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Mekanisme Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu:
i.
Mekanisme PPN bersifat
umum
Adapun mekanisme ini diatur dalam Pasal
9 dan 13 UU PPN Tahun 1984, sebagai berikut:
·
Setiap Pengusaha Kena
Pajak (PhKP) yang menyerahkan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak
(JKP) diwajibkan membuat Faktur Pajak untuk memungut pajak yang terutang yang
dinamakan Pajak Keluaran.
·
Pada saat Pengusaha
Kena Pajak (PhKP) tersebut diatas
membeli Barang Kena Pajak (BKP) atau menerima Jasa Kena Pajak (JKP) dari Pengusaha Kena Pajak (PhKP) lain, Pengusaha Kena Pajak (PhKP) tersebut
juga membayar pajak yang terutang disebut Pajak Masukan.
·
Pada akhir Masa Pajak,
Pajak Masukan tersebut dikreditkan dengan Pajak Keluaran. Dalam hal jumlah
Pajak Keluaran lebih besar dari pada Pajak Masukan, maka kelebihannya merupakan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terutang yang wajib dibayar ke Kas Negara selambat-lambatnya
akhir bulan berikutnya. Apabila akhir bulan tersebut itu libur, kewajiban ini
harus dilakukan pada hari kerja berikutnya.
·
Apabila Pajak Masukan
lebih besar dari pada Pajak Keluaran, maka kelebiahan Pajak Masukan ini dapat
dikompensasikan dengan utang pajak dalam Masa Pajak berikutnya.
·
Pada akhir Masa Pajak,
setiap Pengusaha Kena Pajak (PhKP) wajib melaporkan pemungutan dan pembayaran
pajak yang terutang kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) selambat-lambatnya pada
akhir Masa Pajak berikutnya. Dalam hal akhir masa pajak jatuh pada hari libur,
pelaporan ini harus dilaporkan pada hari kerja berikutnya.
ii.
Mekanisme PPN yang
bersifat khusus
Mekanisme ini diatur
dalam Pasal 16A Undang-undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984, sebagai berikut:
·
Pemungut PPN adalah
bendaharawan atau instansi pemerintah, badan atau orang pribadi ditunjuk
sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
·
Pengusaha Kena Pajak
(PhKP) yang menyerahkan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP)
kepada Pemungut PPN dan wajib membuat Faktur Pajak.
·
Pada saat Pemungut PPN
tersebut melakukan pembayaran Harga Jual atau Panggantian (memungut pajak yang
terutang) kemudian menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menggunakan Surat
Setoran Pajak (SSP) atas nama Pengusaha Kena Pajak (PhKP) tersebut pada butir
kedua dan melaporkannya kepada Kantor Pelayanan Pajak.
·
Surat Setoran Pajak
(SSP) tersebut pada butir ketiga kemudian diserahkan kepada Pengusaha Kena
Pajak (PhKP) yang bersangkutan.
e.
Surat
Pemberitahuan (SPT)
1) Pengertian
Surat Pemberitahuan (SPT)
Pengertian Surat
Pemberitahuan (SPT) tertera dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan pada pasal 1 ayat (11) bahwa Surat Pemberitahuan (SPT)
adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan
dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau
harta kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Berdasarkan periode pelaporannya
Surat Pemberitahuan (SPT) terdiri dari Surat Pemberitahuan Masa dan Surat
Pemberitahuan Tahunan. Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan
untuk suatu Masa Pajak, sedangkan Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat
Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
2) Fungsi
Surat Pemberitahuan (SPT) (pajak.go.id):
1. Wajib Pajak PPh
Sebagai sarana WP untuk melaporkan dan mempertanggung-jawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :
a. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam satu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
b. penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan objek pajak;
c. harta dan kewajiban;
d. pemotongan/pemungutan pajak orang atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak.
2. Pengusaha Kena Pajak
Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung- jawabkan penghitungan jumlah PPN dan PPnBM yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :
a. pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
b. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Sebagai sarana WP untuk melaporkan dan mempertanggung-jawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :
a. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam satu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
b. penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan objek pajak;
c. harta dan kewajiban;
d. pemotongan/pemungutan pajak orang atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak.
2. Pengusaha Kena Pajak
Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung- jawabkan penghitungan jumlah PPN dan PPnBM yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :
a. pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
b. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
3. Pemotong/ Pemungut Pajak
Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung-jawabkan pajak yang
dipotong atau dipungut dan disetorkan.
3) Prosedur
Pelaporan Surat Pemberitahuan
Setiap Wajib Pajak
wajib mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar, lengkap dan jelas, dalam
bahasa Indonesia yang menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang
Rupiah, dan ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya serta melaporkan
Surat Pemberitahuan (SPT) ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib
Pajak terdaftar (dikukuhkan).
Pada saat Wajib Pajak
melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT), Wajib Pajak harus melalui prosedur
pelaporan. Adapun prosedur pelaporan Surat Pemberitahuan adalah sebagai berikut
(Direktorat Jenderal Pajak, 2012):
i.
Wajib Pajak harus
mengambil sendiri blanko Surat Pemberitahuan pada kantor Pemerintah Pusat
(Fiskus) setempat dengan menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
ii.
Surat Pemperitahuan
harus diisi dengan benar dan lengkap sesuai dengan petunjuk yang diberikan,
pengisian formulir Surat Pamberitahuan yang tidak benar mengakibatkan pajak
terutang Kurang Bayar, dan akan dikenakan sanksi perpajakan.
iii.
Surat Pemberitahuan
diserahkan kembali ke Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan dalam batas
waktu yang ditentukan, dan akan diberikan tanda terima tertanggal. Apabila
Surat Pemberitahuan dikirimkan melalui Kantor Pos harus dilakukan secara
tercatat dan tanda bukti serta tanggal pengiriman dianggap sebagai tanda bukti
dan tanggal penerimaan.
iv. Bukti-bukti yang harus
dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT), antara lain:
·
Untuk Wajib Pajak yang mengadakan pembukuan,
Laporan Keuangan berupa Neraca dan Laporan Laba/Rugi serta keterangan lain yang
diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak (PhKP).
·
Untuk Surat Pemberitahuan Masa PPN
sekurang-kurangnya memuat Dasar Pengenaan Pajak (DPP), jumlah Pajak Keluaran,
jumlah Pajak Masukan dapat dikreditkan, dan jumlah kekurangan atau kelebihan.
·
Wajib Pajak yang menggunakan Norma
Perhitungan, perhitungan jumlah peredaran yang terjadi dalam tahun pajak yang
bersangkutan.
4) Karakteristik
Pelaporan Surat Pemberitahuan
Penelitian yang
dilakukan oleh Juwita Tri (2007:31) Surat Pemberitahuan (SPT) secara manual memiliki karakteristik
yang berbeda dengan Surat Pemberitahuan secara elektronik (e-SPT) dalam
pelaporannya, adapun karakteristik Surat Pemberitahuan manual ialah sebagai
berikut:
i.
Wajib Pajak masih
berhubungan secara langsung dengan petugas pajak
ii.
Dibutuhkan waktu yang
lama untuk merekam data Surat Pemberitahuan di Kantor Pelayanan Pajak,
khususnya data lampiran Surat Pemberitahuan
iii.
Sering terjadi
kesalahan pada saat perekaman data, sehingga data yang dituangkan Wajib Pajak
dalam Surat Pemberitahuan (SPT) tidak sama dengan yang ada pada Direktorat
Jenderal Pajak.
iv.
Perekaman data Surat
Pemberitahuan masih membutuhkan sumber daya manusia yang banyak.
v.
Pemborosan tempat untuk
menyimpan dokumen Surat Pemberitahuan.
vi.
Pemborosan kertas.
vii.
Memperlambat pelanggan
lainnya
5) Batas
Waktu Penyampaian SPT Masa PPN
Berdasarkan Undang-undang
PPN nomor 42 tahun 2009 Pasal 15 A ayat (1) dan
(2) yang berlaku 1 April
2010, berbunyi:
ayat (1)
ayat (1)
"Penyetoran Pajak
Pertambahan Nilai oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (3) harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya
Masa Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
disampaikan." ayat (2)
"Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya
setelah berakhirnya Masa Pajak."
Maka sesuai dengan
pasal 15 A ayat 1 UU No. 42 Tahun 2009 batas
akhir penyetoran/pembayaran PPN adalah akhir bulan berikutnya. Dan sesuai ayat 2 batas waktu pelaporannya adalah akhir bulan berikutnya.Kalau
menurut peraturan yang lama pembayaran
PPN paling lambat tanggal 15, dan untuk pelaporan tanggal 20.
f.
Surat
Pemberitahuan Elektronik (e-SPT)
1) Pengertian
e-SPT
Menurut Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 181/PMK 03/2007 sebagimana telah diubah terakhir dengan
Nomor 152/PMK.03/2009, yang dimaksud dengan e-SPT adalah data Surat
Pemberitahuan (SPT) dalam bentuk program aplikasi yang merupakan fasilitas dari
Direktorat Jenderal Pajak kepada Wajib Pajak yang digunakan untuk merekam Surat
Pemberitahuan (SPT) beserta lampirannya, memelihara data Surat Pemberitahuan
(SPT) beserta lampirannya, generate data Surat Pemberitahuan (SPT) digital
serta mencetak Surat Pemberitahuan (SPT) dan dapat dilaporkan melalui media
elektronik ke Kantor Pelayanan Pajak.
2) Dasar
Hukum e-SPT
e-SPT merupakan program
aplikasi komputer yang dapat digunakan oleh Wajib Pajak dari Direktorat
Jenderal Pajak untuk meningkatkan pelayanan pajak yang penerapannya berdasarkan
aturan hukum perpajakan. Berikut aturan hukum perpajakan yang mendasari e-SPT:
i.
Undang-undang Nomor 6
Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun
2008 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
ii.
Keputusan Direktorat
Jenderal Pajak Nomor Kep-327/PJ/2002 tentang Perubahan atas Keputusan
Direktorat Jenderal Pajak Nomor Kep.-756/PJ/2001 tentang Penyampaian Lampiran
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dalam Bentuk Media Elektronik.
iii.
Peraturan Direktorat
Jenderal Pajak Nomor Per-6/PJ/2009 tentang Tata Cara Penyampaian Surat
Pemberitahuan dalam Bentuk Elektronik.
3) Kegunaan
Aplikasi e-SPT
Adapun
kegunaaan sistem aplikasi e-SPT adalah sebagai berikut:
i.
Perekaman data SPT
beserta lampirannya dan pembetulan atau koreksi. Sistem aplikasi e-SPT data
digunakan untuk merekam data e-SPT beserta lampirannya dan dapat melakukan
penghitungan secara otomatis pada saat perekaman. Dengan adanya sistem aplikasi
ini, Wajib Pajak dapat secara langsung melakukan pembetulan atau koreksi pada
Surat Pemberitahuan Induk maupun lampiran Surat Pemberitahuan bila terdapat
kesalahan pemasukan data karena sistem aplikasi e-SPT memiliki fasilitas checking.
ii.
Pembuatan data digital
Surat Pemberitahuan. Sistem aplikasi e-SPT akan menghasilkan data SPT dalam
bentuk digital dan data digital yang dihasilkan oleh program aplikasi e-SPT
merupakan data yang akan dilaporkan kepada Kantor Pelayanan Pajak dalam bentuk
media penyimpanan seperti disket.
iii.
Cetak Surat
Pemberitahuan. Sistem aplikasi e-SPT ini mempunyai fasilitas yang dapat
mencetak SPT Induk. (Ramsi, 2007:25)
4) Karakteristik
Pelaporan e-SPT
Menurut penelitian yang
dilakukan Juwita Tri (2007:38) pelaporan e-SPT memiliki karakteristik
sebagai berikut :
i. Wajib Pajak masih harus berhubungan langsung
dengan petugas pajak.
ii. Waktu lebih cepat untuk merkam data Surat
Pemberitahuan (SPT).
iii. Kesalahan langsung terditeksi pada saat proses
load data yang dituangkan Wajib Pajak
dalam e-SPT sama dengan data yang ada pada Direktorat Jenderal Pajak.
iv. Pelaporan
Surat Pemberitahuan (SPT) melalui media komputer terkadang mengalami kerusakan
sehingga menghambat proses load di
Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
v. Proses
load membutuhkan waktu yang lama
karena jenis media yang digunakan.
5) Keunggulan
e-SPT
e-SPT sebagai program Direktorat Jenderal Pajak
dari modernisasi administrasi perpajakan yang memiliki keunggulan diantaranya, sebagai
berikut (pajak.go.id):
i. Penyampaian SPT dapat di lakukan secara cepat dan aman,
karena lampiran dalam bentuk media CD/disket
ii. Data perpajakan terorganisir dengan baik
iii. Sistem aplikasi e-SPT mengorganisasikan data perpajakan
perusahaan dengan baik dan sistematis
iv. Penghitungan di lakukan secara cepat dan tepat karena
menggunakan sistem komputer
v. Kemudahan dalam membuat Laporan Pajak
vi. Data yang di sampaikan WP selalu lengkap, karena
penomoron formulir dengan menggunakan sistem komputer
vii. Menghindari pemborosan penggunaan kertas
viii.
Berkurangnya
pekerjaan-pekerjaan klerikal perekaman SPT yang memakan sumber daya yang cukup
banyak
g.
Kepatuhan
Wajib Pajak
Menurut nurmantu (2003:148), kepatuhan perpajakan
didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban
perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.
Menurut Direktorat Jenderal Pajak, kepatuhan dibagi menjadi
dua macam yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material. Kepatuhan formal
adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara
formal sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Perpajakan. Sedangkan
kepatuhan material adalah kepatuhan yang meliputi kepatuhan formal, yakni Wajib
Pajak yang memenuhi kepatuhan material adalah Wajib Pajak yang mengisi Surat
Pemberitahuan dengan jujur, lengkap, dan benar sesuai dengan ketentuan dan
menyampaikannya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sebelum batas waktu berakhir.
Misalnya ketentuan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah (SPT PPN dan PPnBM) paling
lambat pada akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak. Apabila Wajib Pajak
telah melaporkan SPT PPN dan PPnBM sebelum akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak, maka wajib pajak telah memenuhi
ketentuan formal, akan tetapi isinya belum tentu memenuhi ketentuan material.
Berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 192/PMK.03/2007 menetapkan bahwa
Wajib Pajak dengan kriteria tertentu yang selanjutnya disebut sebagai Wajib
Pajak Patuh adalah Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1) Tepat
waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan, yakni meliputi :
i. Penyampaian
Surat Pemberitahuan Tahunan tepat waktu dalam 3 (tiga) tahun terakhir.
ii. Penyampaian
Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat dalam tahun terakhir untuk
Masa Pajak Januari sampai November tidak lebih dari 3 (tiga) Masa Pajak
untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut.
iii. Surat
Pemberitahuan Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud diatas
telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Masa Pajak berikutnya.
2) Tidak
mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang
telah memperolah izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak.
3) Laporan
Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan
pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 2 (tiga) tahun
berturut-turut.
4) Tidak
pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidan perpajakan berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu
5 (lima) tahun terakhir.
Kepatuhan Wajib Pajak
merupakan salah satu indikator penting dalam
mengukur seberapa besar kinerja administrasi perpajakan oleh institusi pemungutan pajak.Untuk itu, dengan adanya penerapan sistem aplikasi e-SPT ini
diharapakan dapat berpengaruh terhadap
peningkatan kepatuhan wajib pajak.
J.
Tim
Peneliti
Peneliti mengucapkan banyak terima kasih
kepada pihak yang telah membantu dalam melaksanakan proposal skripsi ini
sehingga memudahkan peneliti dalam menyelesaikan pendidikan strata satunya di
universitas pamulang.
K.
Jadwal
Kegiatan
Adapun jadwal kegiatan yang akan dilakukan oleh peneliti adalah
sebagai berikut :
L.
Anggaran
Demi terlaksananya penelitian ini,
peneliti telah membuat anggaran untuk fasilitas penunjang penelitian ini.Adapun
besarnya anggaran yang dikeluarkan adalah berdasarkan riset ke lapangan dan
perkiraan yang dibuat oleh peneliti. Besarnya anggaran sebagai berikut :
M.
Pedoman
Peliputan Data
Pada penelitian ini, peneliti
menggunakan peliputan data yang bersumber dari Universitas Pamulang yang berada
didaerah Tangerang Selatan.
Adapun pedoman dalam melakukan
penelitian ini menggunakan beberapa buku yang berkaitkan dan akan dibahas dalam
penelitian ini.
N.
Metodologi
Penelitian
1.
Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan penulis adalah bersifat
survey terhadap seluruh populasi Wajib Pajak Pengusaha Kena Pajak yang
terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Kebayoran Baru Tiga,
yaitu dengan menganalisis jumlah SPT Masa PPN yang disampaikan oleh Wajib Pajak
pada saat sebelum dan sesudah diterapkannya program e-SPT untuk menguji
kepatuhan Wajib Pajak dalam melaporkan SPT.
2.
Model Penelitian
Pada dasarnya dilakukannya penelitian adalah untuk menjawab
masalah.Penelitian kuantitatif bertolak dari studi pendahuluan dari objek yang
diteliti untuk mendapatkan yang betul-betul masalah.Masalah tidak dapat
diperoleh dari belakang meja, oleh karena itu harus digali melalui studi
pendahuluan melalui fakta-fakta empiris.Supaya peneliti dapat menggali masalah
dengan baik, maka peneliti harus menguasai teori melalui membaca berbagai referensi.Selanjutnya
supaya masalah dapat dijawab dengan baik maka masalah tersebut dirumuskan
secara spesifik.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan metode survey, metode survey adalah metode penelitian yang
menggunakan kuesioner sebagai instrument utama untuk menggumpulkan data.Karena
validitas data sangat bergantung pada “kejujuran” responden.
3.
Populasi dan Sampel
Data yang dikumpulkan dalam
penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang sudah tersedia dan diperoleh
langsung di KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Tiga baik yang dipublikasikan
maupun tidak dipublikasikan.Data yang diperoleh mencakup, sejarah singkat
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Kebayoran Baru Tiga,visi dan misi,
struktur organisasi, kedudukan dan tugas pokok Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Jakarta Kebayoran Baru Tiga. Serta jumlah SPT Masa PPN yang dilaporkan oleh
Wajib Pajak selama 5 (lima) tahun sebelum dan 5 (lima) tahun sesudah
diterapkannya program e-SPT dan jumlah Wajib Pajak Pengusaha Kena Pajak yang
terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Kebayoran Baru Tiga.
4.
Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang
digunakan penulis untuk melakukan penelitian ini antara lain:
a) Studi
Lapangan
Dalam teknik pengumpulan data ini
penulis melakukan pengamatan (Observasi).Dengan cara mengumpulkan bukti,
catatan atau laporan historis yang telah tersusun dalam arsip (data dokumen)
yang dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan oleh KPP Pratama Jakarta
Kebayoran Baru Tiga.
b) Studi
Kepustakaan
Penelitian kepustakaan
dilakukan dengan cara mengumpulkan, membaca, dan mememahami buku, literatur,
catatan perkuliahan, artikel, data dari internet, serta ketentuan dalam
undang-undang perpajakan yang relevan dengan permasalahan.
5.
Pengolahan dan Analisis
Data
Metode analisis data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah komparatif dua sampel yang
berkorelasi dengan data kuantitatif. Dikatakan komparatif karena analisis
dilakukan berdasarakan perbandiangan antara jumlah SPT Masa PPN yang dilaporkan
Wajib Pajak sebelum program e-SPT dan sesudah penerapan program e-SPT untuk
mengetahui kepatuhan Wajib Pajak di KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Tiga.
Dikatakan analisis digunakan dengan pendekatan kuantitatif, karena pada data
yang diperoleh dapat dilakukan operasi secara matematik.Data yang digunakan
adalah tipe data rasio (tingkat kepatuhan). Adapun rumus untuk mencari
persentase tingkat kepatuhan adalah:
Jumlah
SPT Masa PPN (sebelum dan sesudah e-SPT) diterima x 100%
Jumlah Wajib Pajak PPN Masa terdaftar
Uji hipotesis diolah
dan dianalisis dengan bantuan aplikasi komputer program SPSS Versi 17. Berikut
adalah langkah pengolahan data yang akan dilakukan penulis :
a) Uji
Normalitas Data
Sebelum melakukan
pengolahan data, perlu dilakukannya uji normalitas terhadap data tersebut guna
menentukan apakah data yang telah dikumpulkan memiliki distribusi normal.
Pengujian normalitas akan mengarah kan teknik statistik yang akan digunakan
untuk uji pengambilan keputusan. Bila data tersebut berdistribusi normal, maka
uji statistik mengunakan teknik statistik parametrik dan apabila data tersebut
berdistribusi tidak normal maka uji statistik mengguanakan teknik statistik
nonparametrik.Apabila data tersebut berdistribusi normal tapi jumlah data
kurang dari 30 (N < 30), maka uji statistik menggunakan teknik statistik
nonparametrik.Dalam penelitian yang dilakukan penulis menggunakan jumlah data
(N) sebanyak 60, maka teknik pengolahan ditentukan setelah uji normalitas data.
b)
Uji Wilcoxon Sign Rank
Teknik wilcoxon sign rank digunakan pada data
yang berbentuk ordinal sebagai penyempurnaan dan uji ganda (sign test)
yang diperhitungkan selisih nilai postif dan negatif dalam pengujian dua sampel
berpasangan.(Sugiono,2007:131)
Uji wilcoxon sign rank dilakukan dengan
menggunakan rumus:
Z = T - µT
σT
Dimana
: T = jumlah jenjang (ranking) yang lebih kecil
µT = n (n + 1)
4
σT = n (n + 1) (2n + 1)
4
Dengan demikian
Z = T - µT= T - n (n + 1)
σT 4
n (n + 1) (2n + 1)
4
Adapun dasar pengambilan keputusan adalah
sebagai berikut:
a. Dengan
membandingkan nilai z hitung dengan z tabel
Jika
hasil z hitung > z tabel, maka Ho ditolak
Jika
hasil z hitung < z tabel, maka Ho diterima
b. Dengan
melihat nilai probabilitas 5 % dengan ketentuan
Probabilitas
Sig. > 0.05, maka Ho ditolak
Probabilitas
Sig. < 0.05, maka Ho diterima
6. Operasional
Variabelaftar Purstaka
Operasional variabel adalah penarikan batasan yang lebih
menjelaskan ciri-ciri spesifik yang lebih substantive dari suatu konsep. Tujuan
operasional variable agar peneliti dapat mencapai suatu alat ukur yang sesuai
hakikat variable yang sudah didefinisikan konsepnya, maka peneliti harus
memasukkan proses atau operasionalnya alat ukur yang akan digunakan untuk
kuantifikasi gejala atau variable yang ditelitinya. Dan menurut Sugiyono
(2010:58), Operasional Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk
apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh
informasi mengenai hal tersebut dan kemudian ditarik kesimpulannya.
Dalam penelitian ini terdapat tiga variable yang diteliti yaitu 2
variabel independen dan 1 variabe1 dependen , variabel independen ini sering
disebut sebagai variabel bebas dimana variabel bebas ini merupakan variabel
yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel
dependen atau terikat. Dan variabel bebas dalam penelitian ini adalah Sikap
Wajib Pajak, Persepsi Keunggulan Relatif dan variabel dependen atau terikat
merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel
bebas, variabel terikat dalam penelitian ini adalah Penggunaan e-SPT PPN .
a.
Variabel
Independen ( X )
Adalah variabel yang
faktornya diukur, dimanipulasi atau dipilih oleh peneliti untuk menentukan
hubungannya dengan suatu gejala yang diobservasi dan variabel independen
merupakan variabel yang dapat mempengaruhi variabel dependen.
b.
Variabel
Dependen ( Y )
Adalah variabel yang
dipengaruhi atau yang menjadi akibat dari variabel independen. Variabel ini
merupakan focus utama dari penelitian. Variabel inilah yang nilainya diamati
dan diukur untuk menentukan pengaruh dari variabel independen.
O.
Daftar Pustaka
Bina Fiscal
Indonesia.(2014). Pajak Terapan Brevet A & B Modul 1.Tangerang
Selatan: Bina Fiscal Indonesia
Ilyas
& Suhartono.(2007). Pajak Penghasilan.Jakarta: Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia
Mardiasmo.
(2009).Perpajakan.Edisi Revisi 2009, Yogyakarta: Andi
Nurmantu,
Safri, (2005).Pengantar Perpajakan.Jakarta:
Granit
pajak.go.id
Sekaran,
Uma. (2014). Research Methods For Business (Edisi 4). Jakarta: Salemba
Empat
Soemarso.
(2003).“Akuntansi Suatu Pengantar II”. Jakarta: Salemba Empat
Soemitro, H. Rochmat,
(1998).Asas dan Dasar Perpajakan 1, Bandung:
Refika
Aditama
Sugiyono.(2007).
Metode Penelitian Administrasi.Bandung: Alfabeta
Sugiyono. (2010). Metode
Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta
Sugiyono.(2014).
Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Jakarta: Alfabeta
tarif.depkeu.go.id